Jumat, 30 Desember 2011

Mercea Eliade

MERCEA ELIADE
1970-1986
oleh, Buhori Muslim, M.Ag

LATAR BELAKANG KEHIDUPAN
Mercea Eliade dilahirkan di Bucharest pada tanggal 9 Maret 1907, ia adalah anak seorang pegawai kemiliteran Rumania. Eliade semasa kecilnya suka menyendiri, menyenangi sains, sejarah dan suka menulis. Dalam usia ke-18 tahun ia merayakan penerbitan artikelnya yang ke seratus. Ia mengisahkan pada suatu hari ketika memasuki sebuah kamar yang sudah tidak digunakan dalam rumahnya tiba-tiba ia dikejutkan oleh cahaya yang berwarna hijau yang masuk dari celah-celah gorden kamar itu. Cahaya tersebut menjadikan kesan ruang kosong yang bercahaya kuning keemasan. Eliade belum pernah menyaksikan dan (merasakan) cahaya seperti itu sebelumnya. Cahaya tersebut sangat menyilaukan dan amat mempesona. Pengalaman itu bagaikan memasuki alam lain, sebuah yang transenden. Kemudian dalam menjelaskan pengalaman keagamaannya ia banyak menggunakan kosa kata berdasarkan pengalaman masa kecilnya ini. Dia menyebutnya dengan “nostalgia yang amat mendalam”, suatu keinginan yang amat mendalam untuk memasuki ruang maha sempurna dan nir-duniawi. Tema-tema tentang “dunia lain” ini juga mempengaruhi jalan pendidikannya.[1]
            Di Universitas Bucharest dan Italia, Eliade mempelajari pikiran-pikiran mistik platonic dari tokoh-tokoh renaisans Italia. Pada saat itu ia bertemu dengan pemikiran Hindu yang menitikberatkan kesatuan spiritual dengan roh Agung (supreme Soul) di luar dunia ini. Dia berangkat ke India untuk melanjutkan studinya, di bawah bimbingan ilmuan Surendranath Dasgupta. Di akhir tahun 1928 Eliade diterima di Universitas Calcutta dan bekerja di Dasgupta. Dan pada saat itu ia pun terlibat skandal (affair) dengan putri pembimbingnya tersebut, sehingga akhirnya ia pun berpisah dengan pembimbingnya dan beralih untuk mempelajari ajaran Yoga pada seorang guru di Himalaya.[2]
            Menurut Eliade bahwa pengalamannya di India telah memberi kesan yang amat mendalam bagi kehidupannya. Ia menemukan tiga hal dalam pengalamannya. Pertama, bahwa jalan hidup bisa berubah disebabkan apa yang dinamakan sacramental, kedua, simbol adalah kunci utama dalam memasuki kehidupan spiritual. Dan ketiga, semua itu hanya bisa digali dan dipelajari di anak benua India, karena di sana terdapat warisan agama rakyat yang sangat kaya dan teramat kuat –sebuah lumbung kehidupan spiritual yang sudah eksis sejak dulu kala.[3]
            Agama purba ini menurut Eliade dapat ditemukan di belahan dunia manapun dari perkampungan di India sampai ke negrinya di Rumania, dari Eropa sampai Asia Timur, juga Amerika dan juga tempat lain di berbagai penjuru dunia. Namun menurut Eliade hanya Di India-lah dapat ditemukan satu perasaan religius tentang kosmos.
            Setelah tiga tahun menetap di India, pada tahun 1931, Eliade kembali ke Rumania untuk melanjutkan tugas militernya. Namun ia tetap melanjutkan bakat menulisnya, dan pada tahun 1933 dalam usia yang sangat muda, 26 tahun ia telah menjadi seorang selebritis dengan terbitnya sebuah novel karangannya yang berjudul Maitreyl, Novel ini diilhami oleh kisah cintanya dengan putri Dasgupta.
            Beberapa peristiwa penting lain juga terjadi dalam dekade ini. Disertasi Doktoralnya dipublikasikan di Prancis pada tahun 1936 dengan judul Yoga: An Essays on the Origins of Indian Myistical Theologi. Setelahnya mendapatkan titel, Eliade mulai mengajar di Universitas Bucharest sebagai asisten seorang filosof berpengaruh bernama Nae Ionesco, yang dikenal sebagai salah seorang tokoh pimpinan organisasi Nasionalis Romania.
Pada masa perang dunia II, Eliade diangkat oleh pemerintahaan Rumania sebagai diplomat yang bertugas di Lisbon, Portugal. Setelah perang usai, dia tidak kembali ke Rumania namun memilih menetap di Paris. Dan mendapatkan kesempatan untuk mengajar di Ecole des Houtes Etudes. Di sana ia berhasil menyelesaikan tulisan dua buah buku penting. Dan dari buku inilah yang menjadi pengantar kepada studi dan pemikiran-pemikiran selanjutnya. Buku itu berjudul  Pattern in comparative Religion (1949), yang menjelaskan fungsi simbol dalam agama. Dan The Myth of Eternal Return (1949), menerangkan konsep historis, sakralitas waktu dan perbedaan antara agama kuno dengan pemikiran modern.[4]
Eliade sangat terinspirasi oleh Carl Jung, ahli psikologi ternama dari Swiss yang juga teman sejawat Sigmund Freud. Ia bertemu Jung di saat ada konfrensi Eranos di Swiss, saat ilmuan-ilmuan Eropa berkumpul dalam kegiatan tersebut. Eliade sering berkunjung sampai Jung wafat pada tahun 1960. Jung sangat mendukung ide-ide Eliade tentang agama-agama kuno dan peninggalan-peninggalan agama tersebut. Eliade berkomentar tentang kesannya bertemu dengan Jung: sewaktu mendengarkan Jung, terasa seperti berhadapan dengan seorang pemikir China atau seorang petani dari pedalaman Eropa, pembicaraannya sangat membumi sekaligus pada saat yang bersamaan menjulang, hingga sangat dekat dengan surga.[5]
Setelah memberikan kuliah-kuliah di Universitas Chicago, ia kemudian menerima gelar profesor dari Divinity School di Universitas yang sama. Pada tahun 1962 ia sudah menjadi professor ternama di Universitas Chicago, dia menghabiskan sisa  hidupnya untuk menjadi seorang penasehat generasi muda yang terpacu oleh semangat dan keteladanannya, walaupun mereka ini sering mengkritisi dan membantah pendapatnya. Pada saat ia datang ke Chicago, hanya terdapat tiga professor Amerika di bidang perbandingan agama. Dua puluh tahun kemudian tumbuh menjadi tiga puluh orang professor, dan setengah dari mereka adalah bekas-bekas muridnya. Di mulai dari india dan berakhir di Chicago, karir dan kehidupan Eliade adalah pertemuan dua kutub; timur dan barat, tradisional dan modern, mistik dan rasionalitas, kontemplasi dan kritik. Pada masa pensiun, ia tetap melakukan riset dan menulis, sampai kemudian wafat akibat stroke pada tanggal 22 April 1986.[6]
DUA AKSIOMA
Pijakan dasar dalam mengembangkan teori-teorinya, Eliade berpaku pada dua ide pokok dalam bentuk aksioma. Pertama, Eliade yang sangat bersebrangan dengan kaum reduksionis. Eliade lebih yakin terhadap keindependenan atau keotonoman agama yang menurutnya tidak bisa diartikan sebagai produks realitas yang lain. Dia menegaskan bahwa phenomena Agama: harus dipahami sebagaimana dia tumbuh dalam tahapan-tahapan dirinya sendiri, dan hal ini akan mungkin dilaksanakan jika agama dipelajari sebagai sesuatu yang religius. Mencoba memahami esensi agama hanya melalui beberapa fenomena, seperti psikologi, sosiologi, ekonomi, bahasa, seni, atau bidang bidang lain, adalah salah besar, karena studi-studi ini melupakan satu hal “Unik” dan bagian yang sama sekali tidak bisa direduksi dalam agama, itulah dimensi sakralitas agama.[7]
Dalam blognya Ifaty Fadliliana Sari dan AB.Widyanta Secara mendasar, teori agama Eliade berupaya menentang terhadap teori-teori reduksionis (semisal Freud, Durkheim, Marx) yang dalam pandangannya betul-betul telah salah memahami peran agama dalam kehidupan manusia. Tesis utama Eliade adalah bahwa agama harus selalu dijelaskan menurut istilah-istilahnya sendiri. Sebagaimana ia pernah ungkapkan: “Tugasku adalah untuk menunjukkan keagungan, terkadang kenaifan, terkadang kedahsyatan, dan ketragisan dari wujud yang purba”[8]
Dalam persefektif inilah yang membedakan Eliade dengan para teoritikus lain seperti: Emile Durkheimp yang menggunakan persefektif sosiologis, Sigmund Freud dengan psikoanalisanya, dan Karl Marx dengan filsafat materialismenya. Mereka ini digolongkan kepada kaum reduksionis. Sementara Eliade termasuk kaum yang anti reduksionis. Karena menurutnya agama harus diposisikan sebagai suatu yang independen, adapun aspek yang lain seperti social, psikologi, ekonomi, harus tergantung kepada agama. Dan fungsi agama mesti dilihat sebagai "sebab” ketimbang “akibat”[9]. Agama digambarkan Eliade sebagai sebuah fenomena sui generis (khas/unik) yang hanya bisa dimengerti dalam termnya sendiri.[10]
Kedua, lebih merujuk kepada metode yang dipakai. Menurut Eliade kita harus menggunakan dua sisi pandang yang terpisah. Karena seseorang dapat mengenal suatu bentuk agama, kepercayaan atau ritualnya adalah dengan jalan membandingkannya dengan agama-agama lain. Kita dapat memahami agama apabila kita telah menerapkan apa yang Eliade sebut pendekatan “Phenomenology”. Yaitu studi komparasi tentang bentuk sesuatu atau penampakan yang dimunculkan sesuatu itu kepada kita. Dan pada hakikatnya bahwa sebagian ilmu adalah fenomenologi. Selin itu Eliade menyatakan bahwa kerja sejarawan agama, sebagaimana ia menggambarkan dirinya, juga untuk “menguraikan makna mendalam dari fenomena keagamaan”. Dia mencoba untuk memahami agama baik dari segi makna maupun sejarahnya.[11]
Metode atau pendekatan yang digunakan oleh Eliade dalam memahami agama yaitu pendekatan sejarah dan pendekatan fenomenologi. Untuk menggali pemikiran atau tori-teori Eliade secara berurutan kita dapat memulai dari buku-bukunya berikut ini.
Pertama, konsep Eliade tentang agama. Ini adalah pokok pikiran utama yang dijelaskan dalam buku The Sacred and the Profanne (1957) barangkali buku ini merupakan pengantar terbaik teori-teorinya yang ditunjukkan kepada pembaca umum.
Kedua, pemahamannya tentang simbol dan Mitos. Hal ini diobservasi dengan sangat baik dalam bukunya yang berjudul, The Pattern In Comvarative Religion (1949). Buku tesebut memuat sebagian besar agenda-agenda yang akan mempengaruhi karya-karya berikutnya, termasuk dalam hal perbandingan agama. Mercea Eliade dan Josep M.  Kitagawa (1974) bahwa tugas ilmu perbandingan agama hanyalah menyusun pernyataan-pernyataan tentang agama yang dapat dipahami, dengan tidak melupakan sedikitnya dua tradisi yang saling berkaitan[12]
Ketiga, penjelasan tentang waktu dan sejarah dalam kebudayaan purba dan modern dibicarakan dalam bukunya  The Myth of the Eternal Return (1949). Buku ini menuru Daniel L Pas merupakan buku orisinil dan paling menantang diantara karya-karyanya yang lain.[13]     
YANG SAKRAL DAN YANG PROFAN
Dalam definisi agamanya, Eliade mengikuti dan mengkombinasikan definisi agama yang dikemukakan oleh Rudolf Otto dan Durkheim. Dari Rudolf Otto, dia melihat agama pada prinsipnya sebagai pengalaman “spiritual (numinous)” atas “yang lain” (the other). Dalam pandangannya Eliade menggambarkan tentang pengalaman manusia yang pernah merasakan sesuatu yang misterius, mengagumkan, dahsyat dan teramat indah, Kemudian terlihat sebagai sesuatu yang luar biasa, substansial, agung dan amat nyata. Itulah pengalaman tentang “yang suci” atau perjumpaan dengan yang sakral. Eliade juga mengadopsi terminologi dan pendekatan Durkheim[14] dalam menghubungkan agama dengan yang sakral, yakni suatu wilayah yang berlawanan dengan kehidupan profane. Ketika Durkhaiem berbicara tentang  yang sakral dan yang profane, dia selalu berpikir dalam konteks masyarakat dan kebutuhannya. Yang skaral menurut Durkhaiem adalah masalah sosial yang berkaitan dengan individu, sedangkan yang profan adalah segala sesuatu yang hanya berkaitan dengan urusan-urusan individu.
Walaupun Eliade menggunakan bahasa yang berasal dari Dukheim dan dia sepakat bahwa istilah yang sakral itu lebih baik dari istilah-istilah yang lain dalam bentuk tuhan personal, tapi pandangannya tentang agamalebih dekat kepada Tylor dan Frazer yang telah lebih dahulu mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap kekuatan supranatural.[15]
Berbeda dengan Durkhaiem, pandangan Eliade tentang yang sakral, fokus perhatian utama agama adalah yang Supranatural, sifatnya mudah dimengerti dan sangat sederhana.[16] Di sini terlihat bahwa konsep Eliade tentang yang sakral sangat terpengaruh oleh konsep Otto. Eliade mengatakan bahwa perjumpaan dengan yang sakral, seorang merasa disentuh oleh sesuatu yang nir-duniawi. Tanda-tanda orang yang mengalaminya, mereka merasa sedang menyentuh satu realitas yang belum pernah dikenal sebelumnya, sebuah dimensi dari eksistensi yang maha kuat, sangat berbeda dan merupakan realitas abadi yang tiada bandingannya.
Eliade menganggap sakral dan profane sebagai “dua model ada (being) yang terdapat di dunia” dan menyatakan bahwa “jurang dalam (abyss)” telah membagi dua modalitas pengalaman tersebut. Oleh karena itu, setiap aktifitas religius dan setiap objek pemujaan pasti berkaitan dengan realitas meta empiris ini, yaitu yang sakral. Eliade menulis; “ketika sebuah pohon menjadi objek pemujaan, maka ia bukan sebagai pohon yang disucikan, namun sebagai hierophany[17], yaitu manifestasi dari yang sakral.[18]
Masyarakat mempunyai sistem-sistem yang sakral. Dan otoritas yang sakral selalu mengatur semua kehidupan. Menurut Eliade dalam membangun perkampungan baru, misalnya Bagi masyarakat Arkais mereka tidak dengan serta merta memilih sembarang tempat. Satu perkampungan haruslah didirikan pada tempat yang memiliki hierophany.  Oleh karena itu masyarakat baru ini berkembang selalu mulai dari titik pusat dunia atau cosmos[19]. maka dia tidak akan terpengaruh oleh keadaan lokasi-lokasi di sekitarnya, apakah itu gurun, hutan, atau dataran luas untuk menjauhkan diri dari chaos. Berdasarkan titik pusat inilah, suatu masyarakat baru dibentuk dengan struktur-struktur ilahiah yang definitif.[20]
Biasanya titik pusat yang sakral dari kosmos ini ditandai dengan berbagai tanda untuk melambangkan titik pusat tersebut. Tanda-tanda tersebut juga bisa berbentuk pohon atau gunung. Alasan kenapa ini sangat disakralkan oleh masyarakat terutama masyarakat Arkais adalah karena tanda-tanda tersebut bukan hanya sebagai pusat perkampungan, melainkan juga berfungsi sebagai axis mundi (pusat dunia). Dia merupakan poros utama, tiang penyangga, tempat kehidupan berputar.
Kaitannya dengan axis mundi ini, kisah tentang “tangga jakob” sangat cocok untuk mendeskripsikan model ini. Dalam Bibel dikisahkan bahwa ketika Jakob Sang Penginjil merasa lelah dalam perjalalanannya. Ia memutuskan untuk beristirahat dan tidur di alam terbuka dengan berbantalkan sebuah batu. Pada malam harinya, dia bermimpi tentang sebuah tangga yang menjulang kelangit (surga) persis dari batu yang ia jadikan bantal. Tangga itu dilalui oleh para malaikat yang turun naik ke surga. Setelah terbangun ia menjadi cemas, sebab ia merasa baru saja bertemu dengan yang sakral. “betapa seramnya tempat ini!”, ujarnya, “tempat ini pastilah rumah Tuhan dan pintu gerbang menuju surga.” Setelah itu ia menyusun batu-batu yang ada di sekitar tempatnya tidur tadi secara vertikal, mengubah susunannya dari bentuk bantal menjadi tangga. Batu itu perlambang dari tangga para malaikat yang dilihatnya dalam mimpi. Bagi Jakob, tempat itu adalah Axis Mundi, sebuah titik dimana seseorang menemukan tangga sakral penghubung langit dan bumi, tempat bertemunya dua hal yang berlawanan: Yang Sakral dan Yang Profan.[21]
Dalam keyakinan Muslim bahwa Ka’bah dan atau Jabal rahmah (gunung/bukit rahmat), merupakan tempat yang memiliki nilai suci dan disucikan (sakral), karena ka’bah menjadi tempat yang selalu dituju (dihadapi) umat Islam pada saat salat dan menjadi tempat Tawaf (mengeliling) bagi yang menjiarahinya. Sedangkan bukit/jabal rahmat diyakini menjadi tempat bertemunya kembali antara Adam dengan Hawa setelahnya mereka  dipisahkan oleh Allah setelah dikeluarkan dari surga.
Dalam tradisi, upacara atau pengalaman yang beragam tersebut, aturan-aturan model keahlian tadi adalah bukti yang tidak bisa dibantah, walaupun berbeda-beda dalam setiap kebudayaan. Eliade lebih lanjut menjelaskan, bahwa perkampungan, kuil atau perumahan masyarakat arkais merupakan sebuah imago mundi, yaitu cerminan dari seluruh dunia, sebagai mana yang di perlihatkan oleh tanda-tanda ilahi tadi.[22]
Masyarakat arkais sangat mementingkan mitos “kosmogonik” –cerita atau legemnda tentang penciptaan dunia, baik penciptaan berdasarkan wahyu tuhan ataupun disebabkan kemapuan tuhan menyelesaikan chaos dan mengalahkan kekuatan jahat. Dalam pandangan Eliade, prilaku-prilaku imitative (peniruan) terhadap perbuatan dewa-dewa ini merupakan hasrat terdalam dari pandangan  hidup masyarakat arkais. Keinginan tersebut bukan mencerminkan yang sakral saja, tetapi lebih adri itu juga bertujuan untuk berada di dalam yang sakral dan dapat hidup bersama para dewa.
Kita dapat menyimpulkan bahwa masyarakat arkais menurut Eliade memiliki rasa “kejatuhan”, sebuah tragedi besar dalam sejarah manusia. Dalam hal ini, Eliade tidak hanya merujuk dosa warisan yang dikisahkan dalam Bibel, ketika Adam dan Hawa melanggar perintah Tuhan dan menerima hukuman dari Tuhan. Bagi masyarakat Arkais memahami “kejatuhan” ini dalam makna atau bentuk lain. Mereka meyakini dan merasa bahwa manusia sudah punya kecemasan terhadap situasi dunia. Mereka telah dicekam rasa ketiadaan, rasa jauh dari tempat yang seharusnya mereka miliki dan yang sangat mereka inginkan –dari dunia yang sakral.[23] Dalam bahasa Eliade, sikap-sikap atau karekter seperti ini adalah “nostalgia untuk kembali ke surga Firdaus, tempat yang akan mendekatkan umat manusia kepada Tuhan.[24]    
Kata Eliade kita dapat menemukan model-model seperti ini diberbagai tempat dan zaman, seperti dalam masyarakat Kristen pertengahan, masyarakat muslim di masa awal perkembangannya, kebudayaan Babilonia kuno, masyarakat jawa modern, masyarakat Indian di Amerika Barat Laut, masyarakat Vedic di India dan masih banyak lagi.[25]
Idenya tentang yang sakral ini lebih luas dari sekedar konsep Tuhan yang personal seperti yang di bayangkan oleh kalangan Yahudi, Kristen atau Muslim. Yang sakral bisa berarti kekuatan-kekuatan dewa-dewi, arwah para leluhur, jiwa-jiwa abadi atau kekuatan dari apa yang disebut penganut Hindu sebagai “Brahman”, roh suci yang mengatasi seluruh alam raya. Lantas bagaimana memahami yang sakral? Itulah yang menjadi tugas agama, yaitu agar bisa menemukan dan merasakan yang sakral serta membawa seseorang keluar dari alam dan situasi  sejarahnya lalu menepatkannya pada suatu kualitas yang berbeda, dunia yang sama sekali lain, yang sangat transenden dan suci.[26]
Bagi kita cerita-cerita mitos seperti ini memang bersifat entertainment, tapi bagi masyarakat Arkais adalah bagian terpenting kehidupan mereka. Mitologi-mitologi itu kemudian membentuk pola pikir mereka, berfungsi sebagai standar nilai terhadap apa yang dikagumi, dan merupakan pola-pola –yang dinamakan Eliade “Archetype” –yang harus dipakai sebelum bertindak.[27]
SIMBOL DAN MITOS
Dalam kehidupan, mungkin sesuatu “yang benar-benar berbeda” dari yang lain bisa dideskripsikan dalam bentuk pengalaman normal? Penyelesaian ini menurut Eliade akan terjawab oleh “pengalaman tidajudulk langsung” (indirect experience) terhadap bahasa-bahasa yang sakral yang dapat ditemukan dalam simbol dan mitos-mitos. Dalam pengalaman keagamaan terdapat hal-hal yang kelihatannya sama dengan yang sakral atau memndakan adanya yang sakral dan memberikan petunjuk mengenai alam supranatural. Mitos-mitos merupakan simbol-simbol berwujud narasi. Mitos bukan hanya sekedar sebuah imajinasi atau pertanda-pertanda, melainkan imajinasi-imajinasi yang di muat kedalam bentuk cerita yang mengisahkan dewa-dewa, leluhur, para kesatria atau dunia supranatural lainnya.[28]
Dalam membahsa mitos dan simbol, Eliade menulis sebuah buku yang berjudul Patterns in Comparative Religion (1949). Buku ini banyak memuat dan menjelaskan secara panjang lebar tentang simbol-simbol dan mitos religious. Menurut Eliade, terlepas dari lokasi dan latar sejarah yang kita teliti, bahwa simbol, mitos dan upacara-upacara ritual keagamaan muncul silih berganti dalam peradaban manusia.[29]
Pada dasarnya simbol itu mengungkapkan struktur seluruh alam raya, sebuah struktur yang tidak Nampak pada tingkat pengalaman selintas.[30] Satu hal yang perlu ditekankan menurut Eliade, bahwa apa saja dalam kehidupan ini yang bersifat biasa-biasa saja adalah bagian dari yang profane. Dia ada hanya untuk dirinya sendiri. Namun dalam waktu-waktu tertentu bahwa yang profan dapat ditaranspormasikan menjadi sesuatu yang sakral. Sebuah benda, seekor binatang, nyala api, sebuah batu, goa sungai atau bahkan seorang manusia bisa menjadi tanda yang sakral asalkan manusia menemukan dan kemudian meyakininya.[31]
Eliade dengan sangat cermat memaparkan bahwa Ka’bah yang disucikan dan diagungkan oleh umat Islam, walaupun di satu sisi Ka’bah sampai saat ini hanyalah seonggok batu, tapi di sisi lain tak seorangpun dari umat Muhammad yang beriman akan beranggapan sesederhana itu, dengan hanya menganggapnya seonggok batu belaka. Semuanya bermula dari satu hierophany yang teramat cepat –yaitu ketika orang Islam menemukan ka’bah itu disentuh oleh yang sakral –maka objek yang profane ini berubah. Dia bukan hanya sekedar batu biasa, tapi sebuah objek suci dan menakjubkan, karena didalamnya terkandung yang sakral.[32]
Hal ini seperti yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 2009 an. Di mana fenomena dukun cilik Ponari dengan batu ajaibnya mampu menyita perhatian banyak orang karena ia dan batunya diyakini dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Tidak sedikit orang menjadi korban-sampai meninggal dunia akibat berdesak-desakan hanya untuk memperoleh keberkahan air hasil celupan batu yang dimiliki oleh dukun cilik Ponari. Bahkan tidak cukup sampai di situ, mereka yang tidak kebagian giliran sampai rela mengambil air comberan (air kotoran dari wc) di sekitar rumah dukun cilik ponari tersebut[33].
Batu-batu seperti ka’bah mampu memperlihatkan kepada orang Islam tentang Tuhan yang tidak berpindah dan tidak berubah, Mahakuasa, sang penguasa dunia. Dalam logika sederhana, kontradiksi-kontradiksi ini kelihatannya memang tidak masuk akal. Menurut Eliade hal itu bisa saja terjadi, sebab dalam beberapa hal, rasio manusia tidak bertanggung jawab atas proses “pertukaran” tersebut. Simbol dan mitos-mitos mewujudkan diri dalam imajinasi-imajinasi, yang biasanya muncul dari ide-ide kontradiksi. Kemudian mengikat seluruh aspek pribadi, emosi, keinginan dan aspek-aspek bawah sadar lain manusia. Sehingga dalam pengalaman religious, hal-hal yang berlawanan itu  (Yang Sakral dan Yang Profan) juga bisa bertemu.[34]
Dalam pandangan Eliade bila simbol-simbol ini dikemas ke dalam bentuk naratif, maka itu dianggap sebagai sebuah mitos. Mitos-mitos menceritakan yang sakral, bagaimana kehidupan ilahiah yang bersifat supranatural itu bisa menjadi sangat dekat dengan kehidupan alamiah manusia.
Dari beragam simbol dan mitos-mitos dalam keberagamaan menurut Eliade yang dapat kita lakukan adalah bagaimana mempelajari pola dan system-sitem umum dari simbol dan mitos-mitos tersebut.[35] Dengan demikian Eliade telah memperlihatkan bahwa ia telah lebih dulu mampu melakukan atau mempelajari pola dan system simbol dan mitos dengan sangat apik dan holistik seperti ia mengangkat tentang simbolisme langit atau dewa-dewa langit, matahari dan bulan, air dan bebatuan, tanah dan kesuburan (tumbuhan dan pertanian), serta memaparkan struktur dan karakter simbol-simbol tersebut.
SEJARAH DAN WAKTU SAKRAL
Eliade menyatakan bahwa penyelidikan para ilmuwan tentang simbolisme yang sakral, catatan sejarah kemanusiaan merupakan kunci utama. catatan sejarah akan memberikan penjelasan kepada kita bagaimana masyarakat yang berbeda menanggapi yang sakral. misalnya  gunung-gunung suci atau sungai gangga di India. bagi masyarakat  primitif kejadian sehari-hari seperti bekerja dan memenuhi kebutuhan hidup adalah sesuatu yang ingin mereka tinggalkan. mereka ingin keluar dari sejarah dan selalu berada dalam alam yang sakral. Eliade mengistilahkan keinginan semacam itu dengan “Nostalgia Surga Firdaus”.
Eliade mengemukakan pemikiran masyarakat arkhais dalam bukunya The myths of the Eternal Return : Or, cosmos and history, dalam bukunya itu dijelaskan bahwa masyarakat kuno mengakhiri sejarah dan ingin kembali pada satu titik nir waktu ketika sesi dunia mulai diciptakan. masyarakat kuno sangat dipengaruhi oleh misteri kematian, dan menyakini kehidupan ini tidak punya tujuan dan arti sehingga menginginkan sesuatu yang penuh arti, kekal indah dan sempurna. petualangan kehidupan manusia akan tetap berakhir dengan kematian.
Ajaran-ajaran kuno India mengatakan bahwa manusia hidup didunia ini ditakdirkan tanpa harapan, mereka melewati lingkaran kerusakan dan kehancuran, hingga pada akhirnya semua itu lenyap dan segalanya dimulai kembali (reinkarnasi).
Ajaran kelahiran kembali pun terdapat dalam kepercayaan kuno lainnya tetapi dalam bentuk yang berbeda. dalam kalangan masyarakat Yunani kuno dan pengikut zoroaster di Persia, ajaran ini diekspresikan dalam kepercayaan bahwa sejarah manusia hanya terdiri dari satu lingkaran (Daur) yang keluar dari keabadian dan pada suatu saat akan diakhiri untuk selama-lamanya oleh api atau bencana lainnya. Masyarakat Persia kuno berbeda mereka menganggap bahwa manusia memperoleh kebebasan dengan pengadilan yang diberikan oleh Ahuramazda dewa cahaya dan kebaikan kepada siapa saja yang tidak beriman kepadaNya.[36]
Berkaitan dengan waktu sakral. Di sini, Eliade secara singkat mengupas materi yang ia banyak cakupkan dalam “The Myth of the Eternal Return”. Seperti pengalaman ruangnya, manusia religius memahami pengalaman waktu sebagai sakral sekaligus profan. Waktu yang sakral, waktu perayaan, adalah kembali pada waktu mistis yang mengawali permulaan segala sesuatu, inilah yang oleh Eliade disebut sebagai “in illo tempore”. Manusia religius mengharapkan untuk selalu hidup dalam waktu yang kokoh ini. Ini adalah kehendak untuk “kembali pada kehadiran dewa-dewa, untuk memulihkan kekuatan, kesegaran dunia sejati yang eksis “in illo tempore”. Menurut Eliade, waktu sakral atau waktu perayaan tidak mungkin didapatkan oleh manusia modern, karena manusia modern melihat waktu profan adalah keseluruhan hidupnya dan ketika ia meninggal hidupnya juga binasa.[37]
Menurut Eliade bahwa kita harus memperhatikan motivasi apa di balik mitos “kembali” return ini. Masyarakat arkais dan juga masyarakat yang lain, tidak hanya dipengaruhi oleh misteri kematian. Mereka ingin sesuatu yang penuh arti, kekal, indah, dan sempurna, sebagai mana mereka juga ingin lari dari ketakutan. Kegetiran dan kesulitan hidup bagi mereka tidak jadi masalah, sebab setiap orang bisa saja ditimpa kesulitan. Tapi ide petualangan manusia secara keseluruhan mungkin adalah sesuatu yang tidak memiliki makana sama sekali, karena akan berakhir dengan kematian. Dan inilah makna yang tidak diharapkan oleh masyarakat arkais.
Perasaan ini menurut Eliade dengan “teror sejarah”, yang menggambarkan manusia sangat berhasrat terhadap mitos-mitos, terutama mitos tentang “kembali kepada keabadian”. Bagi mereka kehidupan ini tidak berarti apa-apa, karena arti kehidupan yang sebenarnya dalam kehidupan tidak akan pernah ditemukan dalam sejarah. Dengan demikian masyarakat Arkais lebih memilih berada “di luar” kehidupan seperti ini.
Terror sejarah ini tidak ahanya dirasakan dan oleh masyarakat arkais saja, tetapi juga oleh masyarakat peradaban kuno yang lain, dimana pandangan yang menganggap waktu sebagai lingkaran sangat dominan. Seperti dalam bentuk-bentuk doktrin kelahiran kembali atau reinkarnasi. Hal ini dapat ditemukan dalam kitab-kitab Upanishad agama Hindu atau ajaran-ajaran Budha Gautama dan Mahavira pendiri Jainisme.
Di tempat lain, ajaran kelahiran kembali ini muncul dalam bentuk yang berbeda. Dikalangan masyarakat Yunani dan pengikut-pengikut nabi Zoroaster di Persia kuno, ajaran ini diekspresikan  dalam kepercayaan bahwa sejarah manusia hanya terdiri dari satu lingkaran (daur) yang keluar dari keabadian dan pada suatu saat akan diakhiri untuk selama-alamanya oleh api atau bencana besar lainnnya.[38]



DAFTAR PUSTAKA


Abdullah Ali.
2007    Agama dalam Ilmu Perbandingan, Bandung, Nuansa Aulia,

Brian Moris.
2003    Antropologi Agama (terjemah), Yogyakarta, AK Group,

Buhori Muslim.
2010    Retorika Dakwah Miftah Faridl (Tesis), Bandung, PPs UIN SGD

Daniel L. Pass.
2001    Dekontruksi kebenaran; kritik tujuh teori agama. (terjemah), Yogyakarta, IRCiSoD, 

http://izzichikoobskuriti.blogspot.com/2011/06/nostalgia-atas-surga.html

http://husnie85.blogspot.com/2011/02/mircea-eliade-riwayat-hidup-mircea.html

http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/membaca-nalar-studi-agama-sakral-dan-profan-karya-mercia-eliade


[1] Daniel L. Pass. Dekontruksi kebenaran; kritik tujuh teori agama. (terjemah), (Yogyakarta: IRCiSoD, 2001) cet-1, hlm. 251
[2] Ibid. hlm, 252
[3] Ibid. hlm, 252
[4] Ibid. hlm, 253
[5] Ibid. hlm, 254
[6] Ibid.
[7] Ibid. hlm, 255
[8] http://izzichikoobskuriti.blogspot.com/2011/06/nostalgia-atas-surga.html
[9] Ibid. 255
[10] Brian Moris. Antropologi Agama (terjemah), (Yogyakarta: AK Group, 2003) cet-1, hlm. 219
[11]Ibid. hlm, 219
[12] Abdullah Ali. Agama dalam Ilmu Perbandingan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2007) cet-1, hlm. 102
[13] Daniel L. Pas. Dekontruksi Kebenaran, hlm. 258
[14] Daniel L. Pas Dekontruksi kebenaranm, hlm.259. Eliade memang dididik dalam lingkungan intelektual Prancis yang sangat dipengaruhi oleh Pemikiran Durkheim, sehingga cara pendefinisian agama yang dilakukan Durkheim diterima luas di Perancis.  
[15] Ibid. hlm. 260
[16] Ibid.
[17] Hierophany berasal dari bahasa Yunani hieros dan Phaineien yang berarti penampakan yang sakral.
[18] Brian Morris. Antropologi Agama, hlm. 220
[19] Cosmos berasal dari bahasa Yunani yang berarti susunan segala hal.
[20] Daniel L. Pas. Dekontruksi Kebenaran, hlm. 264
[21] Ibid. hlm. 265
[22] Ibid. hlm. 266
[23] Ibid.  
[24] Ibid. hlm. 268
[25] Ibid.
[26] Ibid. hlm, 262
[27] Ibid. hlm. 263
[28] Ibid. hlm. 268
[29]  Ibid. hlm. 269
[30] Morris. Antropologi Agama, hlm. 221
[31] L. Pas. hlm. 269
[32] Ibid, hlm. 270
[33] Buhori Muslim. Retorika Dakwah Miftah Faridl (Tesis) (Bandung: PPs UIN SGD, 2010) hlm. 45
[34] L. Pas. Dekontruksi Kebenaran, hlm. 270
[35] Ibid. hlm. 271
[36] http://husnie85.blogspot.com/2011/02/mircea-eliade-riwayat-hidup-mircea.html
[37]http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/membaca-nalar-studi-agama-sakral-dan-profan-karya-mercia-eliade
[38] L. Pas. Dekontruksi Kebenaran, hlm. 287-289

hermeneutik


SISI POSITIF DAN NEGATIF HERMENEUTIK

A.     Pendahuluan
Hermeneutik, meskipun merupakan topik klasik, namun akhir-akhir ini telah menjelma sebagai sesuatu yang baru dan menarik dalam bidang Filsafat. Hermeneutik seakan telah bangkit kembali dari masa lalu dan dianggap sebagai sesuatu yang teramat penting. Hermeneutik tidak hanya lagi sekedar memaknai tema-tema kitab suci, namun juga dapat merambah pada berbagai kehidupan yang ada. Hermeneutik tidak sekedar pendekatan atau metodologi dalam berbagai disiplin ilmu ataupun filsafat. Namun juga sebagai paradigma bahkan sebagai “gengsi” dalam perkembangan pengetahuan kekinian (kontemporer).    
Kata ‘hermeneutik’  berasal dari bahasa Yunani hermeneuein, yang berarti ‘menafsirkan‘. Maka kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi.[1] Istilah Yunani ini mengingatkan kita pada tokoh Mitologis yang bernama Hermes, yaitu seorang utrusan yang memiliki tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seorang yang memiliki kaki bersayap, dan lebih banyak dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa Latin. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olyimpus kedalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Oleh karena itu, fungsi Hermes adalah penting sebab bila terjadi kesalah-pahaman tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan pesan kedalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Mulai saat itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu.
Dengan demikian Richard E. Palmar (1969:3) mengartikan bahwa Hermenetik sebagai ‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti’.  Batasan umum ini selalu dianggap benar, baik hermeneuetik dalam pandangan klasik maupun dalam pandangan modern.[2] I bambang Sugiharto (2011) dalam materi kuliahnya[3] membagi hermeneutika pada dua bagian, pertama, dalam arti luas: yaitu bermacam refleksi tentang apa itu menafsir, dan kedu, dalam arti sempit: yaitu hermeneutika filosofis, dan slah satu tokoh besarnya adalah Martin Heidegger, kemudian dikembangkan lagi oleh H.G. Gadamer dan Paul Ricoeur. Lebih lanjut Sugiharto mengartikan Hermeneutika (menafsir) pada tiga bagian; mengungkapkan (to express), menjelaskan (to explain), dan menerjemahkan (to translate). Sedangkan dalam pandangan Haedigger yang dikemukakan oleh Sugiharto bahwa menafsir (hermeunetik) bukan sekedar metode tapi cara hidup khas (dasein) manusia (mode of being). Dan bagi Haideggar bahwa hermeneutic adalah berpikir. Dan berfikir adalah bersyukur. Dalam pengertian Gadamer, hermeneutika dapat dimengerti sebagai refleksi kritis atas cara-cara kita memahami dunia dan atas bentuk-bentuk ungkapan pemahaman itu.[4] 
Hermeneutik adalah ilmu dan seni menginterpretasikan sebuah teks. Penjelasan senada dikemukakan juga oleh Zygmunt Bauman. Hermenetika  berasal dari bahasa Yunani ”hermeneutikos”, berkaitan dengan ”upaya menjelaskan dan menelusuri” pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiksi, sehingga menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.
Hermeneutika ingin memerankan dirinya sebagai sebuah seni dan metode menafsirkan terhadap ”realitas lain yang absen”, baik karena telah berlalu dalam waktu maupun jarak yang jauh, yang realitas itu hadir pada kita diwakili oleh teks. Hermeneutika memiliki dua madzhab, yaitu hermeneutika transendental dan historis-psikologis[5].
Salah satu persoalan yang hendak dijembatani oleh hermeneutika adalah terjadinya jarak antara penulis dan pembaca, yang antara keduanya dihubungkan dengan teks. Sebuah karya tulis pada umumnya merupakan respons terhadap situasi yang dihadapi oleh penulis dalam ruang dan waktu tertentu.[6] Sedangkan pengertian dalam persefektif hermeneutika kontemporer memperlihatkan bahwa setiap pengetahuan sebenarnya adalah tafsiran atas kenyataan. Artinya setiap klaim tentang kebenaran bagaimanapun adalah interpretasi  manusia saja.[7]
Pada abad pertengahan (abad 4-13) hermeneutika digunakan dalam menafsirkan Bible (Exegesis) baik yang literal (real) maupun alegoris. Kemudian pada abad ke 18, hermeneutika lebih banyak mempersoalkan filologi atau naskah purba. Selanjutnya pada abaad ke 19, hermeneutika filsafati ternyata  baru dirintis dalam pemikiran salah seorang filosof yang bernama Friedrich Schleiermacher, yakni saat masalah pemahaman diangkat sebagai masalah spesifik.[8]
B.      Bahasa sebagai permulaan kajian hermeneutika
Unsur hermeneutika atau penafsiran adalah: penulis, teks dan pembaca. Sedangkan hermeneutik merupakan cara untuk dapat memahami (verstehen) sebuah teks atau tentang segala yang “ada”. Dalam proses perkembangan pemikiran Heidegger bahsa merupakan pusat perhatiannya. Tema bahasa sejak awal merupakan salah satu tema yang terpenting. Heidegger merumuskan hakikat manusia sebagai “berdiri di terang Ada”, “di dalam keterbukaan yang menerangi dari Ada”, harus ada yang memungkinkan menjadi begitu. Kemungkinan itu adalah bahasa. Dengan demikian menunjukkan betapa erat hubungan keterjalinan antara manusia, bahasa dan Ada. Tempat tinggal yang sebenarnya bagi wujud manusia adalah di dalam bahasa. Bahasa adalah kediaman Ada. Hubungan manusia dan Ada terjadi di dalam bahasa. Bahasa yang membuat manusia menjadi manusia. Dan manusia adalah bahasa. [9]
Masalah bahasa dan pemikiran ini ditemukan  Heidegger lewat perkenalannya dengan suatu disiplin teologi yang bernama hermeneutika. Menurut pengakuannya, tanpa perkenalan tersebut, Heidegger tidak akan sampai pada pemikirannya yang sekarang, yaitu hermeneutika dikaitkan dengan bahasa.[10]    
maka dengan demikian, pada perinsipnya hermeneutik sangat berkaitan dengan persoalan bahasa. Karena dalam kehidupan manusia, kita tidak dapat melepaskan diri dari persoalan bahasa. Kita berpikir, menulis, bisa mengerti dan membuat interpretasi dengan menggunakan bahasa, termasuk seni apaun dapat diapresiasi dengan mengunakan bahasa. Bahasa menjelmakan kebudayaan manusia. Dengan demikian persoalan-persoalan bahasa ini bukanlah merupakan sesuatu hal yang baru.[11] H. G. Gadamer menulis bahwa bahasa merupakan modus operandi dari cara kita berada di dunia dan merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini. Dengan demikian manusia tidak bisa melepaskan diri dari bahasa. Kita tidak dapat melakukan apapun tanpa menggunakan bahasa. Dengan bahasa setiap orang dapat menemukan dirinya sendiri. Menurut Gadamer, bahasa tidak boleh kita pikirkan sebagai yang mengalami perubahan. Bahasa harus kita pikirkan atau kita pahami sebagai sesuatu yang memiliki ketertujuan (teleology) di dalam dirinya.[12] Ia menyatakan: ”Being that can be understood is language”. Selain itu dalam pandangan I. B. Sugiharto bahwa inti permasalahan yang dihadapi  oleh filsafat dalam situasi postmodern terletak pada persoalan bahasa. Dan lebih lanjut, bahwa inti kebahasaan itu sendiri adalah “metaphor”. [13]
C.      Hermeneutika: Memaknai Kitab Suci
Seperti telah disinggung di atas bahwa Dalam perkembangannnya, disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermeneutic adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi ilahi seperti Al-Qur’an, kitab Taurat, kitab-kitab Veda dan Upanishad supaya dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutic. Bagi setiap orang saat ini, kitab suci perjanjian lama tidak memberikan kesan sebagai tolak ukur kehidupan kita di abad ke-20 ini. Karena interpretasi yang benar atas teks sejarah ataupun kitab-kitab suci sangat memerlukan hermeuenetik.[14]
Schleiermacher mempergunakan bidang hermeneutik dalam diskusi-diskusi tentang filsafat dan teologi. Baginya hermeneutik adalah sebuah teori tentang penjabaran dan interpretasi teks-teks mengenai konsep-konsep tradisional kitab suci dan dogma. Disamping sebagai filosof, Schleiermacher juga menjadi pendeta. Ia menerapkan metode-metode philologi untuk membahas tulisan-tulisan biblis (tentang kitab suci Bible) dan menerapkan metode hermeneutic teologis untuk teks-teks yang tidak berhubungan dengan Injil (Bible). Penerapan metode philology tersebut dimaksudkan oleh Schleiermacher, untuk mencapai pemahaman yang tepat atas makna teks.[15]
D.     Islam dan Hermeneutik
Selama ini pandangan umat Islam terhadap hermeneutic paling tidak terbagi pada dua madzhab besar yaitu: pertama, madzhab yang menerima dan kedua, madzhab yang menolak. Yang menerima tentu adalah mereka yang lebih bersifat demokratik dalam cara berfikir, dan bertindak. Kelompok modernis ini diwakili seperti Muhammad Arkoun, dan Fazlur Rahman. Fazlur Rahman menyiratkan pemahaman bahwa hermeneutika merupakan alat metodologis yang unggul. Ia mendalami teori-teori hermeneutika ketika sebagian besar pemikir muslim lainnya belum mengenalnya. Oleh karenanya, dalam perkembangan pemikiran Islam, ia dipandang sebagai tokoh yang turut merintis penerapan hermeneutika untuk memahami teks Al-Qur’an.
Usaha Rahman dalam memperkenalkan hermeneutika ternyata mendapatkan sambutan yang luar biasa di lingkungan akademik Islam. Gagasan Hermeneutikanya banyak dijadikan rujukan oleh pemikir-pemikir muslim yang lain. Pemikir-pemikir seperti Amina Wadud, Riffat Hassan mengikuti alur hermeneutisnya Rahman. Pada akhirnya Hermeunutika menjadi disiplin yang yang diajarkan di sejumlah lembaga pendidikan.
Namun pada kelompok kedua, sekelompok muslim lain tidak merestui kedatangan hermeneutika. Alasannya sangat sederhana, bahwa hermeneutika berasal dari dunia Barat, sehingga tidak menutup kemungkinan nilai-nilai barat disusupkan ke dalam Islam, khususnya dalam memahami Al-Qur’an. Kelahiran hermeneutika sesungguhnya dimaksudkan untuk mencari kebenaran-kebenaran injil, kitab suci Kristen yang tidak diakui orsinilitas dan otentisitasnya. Sedangkan Al-qur’an sudah diyakini orsinilitas dan otentisitasnya maka ia tidak butuh hermeunetika. Bahkan menurut mereka, hermeneutika akan merusak pemahaman umat Islam yang selama ini telah mapan.[16]        
 Sekarang ini   Hermeneutika tidak hanya berkembang di dunia barat, namun ia juga menebus pada sekat-sekat agama dan budaya. Islam yang selama ini memiliki cara penafsiran sendiri terhadap Al-Qur’an yang kita sebut ilmu tafsir, juga ditembus oleh Hermeneutika. Bebarapa ilmuan muslim moderat melihat signifikasi hermeneutika, khususnya untuk mendalami dan memahami Al-Qur’an. Kalau selama ini kebanyakan umat Islam masih mempertahankan dan merasa cukup dengan pendekatan (ilmu tafsir, atau syarat-syarat mufasir yang berlaku) –yang memiliki kekurangan dan keterbatasan apalagi kalau sampai dibiarkan terus menerus. Selamanya umat Islam tidak dapat menembus dan menemukan lautan makna yang dibentangkan di balik ayat-ayat Al-Qur’an. Sedangkan unsure-unsur hermeneutic yang selama ini digunakan itu bisa menjadi factor dalam merekontruksi keilmuan tafsir itu.   
Dalam pandangan Fazlur Rahman, Al-Quran ibarat puncak gunung es yang terapung. Yang terlihat hanya sepuluh persen, sedangkan yang Sembilan puluh sisanya masih terendam di bawah permukaan air. Sembilan puluh persen inilah yang masih diselubungi oleh keterbatasan metodologis dan reifikasi sejarah. Inilah yang harus segera di bongkar, dan metodelogi barupun harus secepatnya dihadirkan untuk membebaskan hal-hal yang menutupi gunung es itu. Dengan asumsi bahwa teks apapun dapat ditafsirkan oleh hermenetika, al-qur’an diperlakukan sebagai sebuah teks yang bisa dipahami pesan-pesannya dengan cara menelusuri tidak hanya teks itu sendiri, tetapi menjelaskan secara rinci tentang proses penerimaan wahyu sejak sampai tingkat perkataan sampai ketingkat dunia. Dengan demikian hermenetika bukan hanya teks yang hendak dipahami maknanya, melainkan lebih jauh menyelami berbagai aspek yang mengitari terbentuknya teks itu hingga sampai kepada pembacanya. Kajian hermeneutika sebenarnya lebih luas ketimbang kajian ilmu tafsir. Dan apa yang dikaji dalam ilmu tafsir juga termasuk dalam bahasan hermeneutika.[17] Dalam hal ini penulis tidak berperan untuk melihat mana yang lebih unggul diantara keduanya (ilmu Tafsir atau Hermeneutika), namun disini nampaknya hanya berbeda dalam istilah dan latar belakang sejarah kemunculan keduannya.
Metodologi tafsir Al-Qur’an Fazlur Rahman dinisbatkan dengan term hermeneutika, bukan tafsir bukan pula takwil dalam pngertian konvensional sebagaimana yang digunakan oleh para Mufasir Al-Qur’an. Rahman sendiri tidak pernah mengklaim jenis hermeneutika yang dianutnya. Istilah hermeneutika ini muncul dalam karyanya setelah ia menawarkan teori gerakan ganda dalam Islam dan modernity pada tahun 1982. Sebelumnya Rahman hanya memakai istilah interpretasi atau penafsiran. Fakta ini sekaligus memperlihatkan perkembangan apresiasinya terhadap hermeuetika.[18]
E.     Kesimpulan
Kita tidak dapat memungkiri bahwa dengan “keliaran” kajian Hermeneutika terkadang bisa merusak tatanan yang sudah ada dan mapan, . Terutama setelah hermeneutic dikembangkan oleh Martin Heidegger, H.G. Gadamer dan Paul Ricoeur.
Sekarang ini Hermeneutika tidak hanya berkembang di dunia barat, namun ia juga menebus pada sekat-sekat agama dan budaya. Islam yang selama ini memiliki cara penafsiran sendiri terhadap Al-Qur’an yang kita sebut ilmu tafsir, juga ditembus oleh Hermeneutika. Bebarapa ilmuan muslim moderat melihat signifikasi hermeneutika, khususnya untuk mendalami dan memahami Al-Qur’an.
Kelompok pemikir Islam ini diwakili oleh Muhammad Arkoun, Fazlur Rahman, Abid Al-Jabirri, Naser Hamid Abu Zaid. Kalau di Indonesia hermeneutika dikembangkan Komarudin Hidayat, Dawam Rahardjo, Dan sebagian lagi mazdhab Yogya. Dengan demikian nampaknya hermeneutika dan ilmu tafsir hanya berbeda dalam istilah dan latar belakang sejarah kemunculan keduannya. Jadi dalam pemikiran dunia Islam hermenetika sudah tidak dianggap sesuatu yang asing lagi, namun lebih dari itu saat ini hermeneutic menjelma sebagai “gengsi” dalam perkembangan pengetahuan kekinian (kontemporer).  





Daftar Pustaka


E. Sumaryono
1999    Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius

Materi kuliah yang disampaikan oleh Prof. Dr. I. Bambang Sugiharto pada saat kulaih dengan penulis pada Program Pascasarjana UIN SGD Bandung pada mata kuliah Penafsiran Kitab Suci, tahun 2011.

I. Bambang Sugiharto
1996    Postmodernisme tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: kanisius

Komarudin Hidayat
1996    Memahami Bahasa Agana: Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina

I. bambang Sugiharto, dan Agus Rachmat W
2004    Wajah Baru Etika dan Agama, (Studi perbandingan Agama), Yogyakarta: Kanisius

W.  Poespoprodjo
2004    Hermeneutik, Bandung:Pustaka Setia

Sibawaihi
2007    Hermeneutika Fazlur Rahman Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra



[1] E. Sumaryono. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 23
[2] Ibid. 24
[3] Materi ini disampaikan pada saat kulaih dengan penulis pada Program Pascasarjana UIN SGD Bandung pada mata kuliah Penafsiran Kitab Suci, tahun 2011.
[4] I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme tantangan bagi Filsafat,(Yogyakarta: kanisius,1996) cet-12, hlm. 38
[5] Gerald L. Bruns dalam bukunya Hermeneutics Ancient & Modern (1992;2-3), menjelaskan Hermeneutika transcendental berpandangan bahwa untuk menemukan suatu kebenaran dalam teks tidak harus mengaitkan dengan pengarangnya karena sebuah kebenaran bisa berdiri otonom ketika tampil dalam teks. Sedangkan hermeneutika historis-psikologis berpandangan bahwa teks adalah eksposisi eksternal dan temporer saja dari pikiran pengarangnya, sementara kebenaran yang hendak disampaikan tidak mungkin terwadahi secara representative dalam teks.
[6] Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agana: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996) cet-1,  hlm. 128-133
[7] I. bambang Sugiharto, dan Agus Rachmat W. Wajah Baru Etika dan Agama, (Studi perbandingan Agama), (Yogyakarta: Kanisius, 2004), cet-5, hlm. 172
[8]W.  Poespoprodjo. Hermeneutik,(Bandung:Pustaka Setia, 2004), cet-4, hlm. 13
[9] Ibid. hlm. 82-83
[10] Ibid. hlm. 86
[11] Sumaryono. hermeneutic: sebuah, hlm. 26-27.
[12] Ibid. Hlm. 26
[13] Sugiharto, Postmodernisme: tantangan, hlm. 17
[14] Sumaryono. Hermeneutic: sebuah, hlm. 28-29
[15] Ibid. hlm. 37
[16] Sibawaihi. Hermeneutika Fazlur Rahman (Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra: 2007) cet-1, hlm. 4-5
[17] Ibid. hlm. 11-14
[18] Ibid. hlm. 35