Minggu, 01 Januari 2012

ilmu dakwah


FORMULASI DAKWAH DALAM MASYARAKAT MODERN
Oleh, Bukhari Muslim
Konsentrasi Ilmu Dakwah UIN SGD Bandung
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Globalisasi dan modernisasi merupakan suatu keniscayaan yang sudah menjadi realitas dunia kekinian. Globalisasi yang ditandai dengan terasa semakin sempitnya dunia, dan terasa semakin cepatnya waktu, hal ini mengandung muatan-muatan yang begitu signifikan, seperti metabolisme kekuasaan dunia, ketergantungan ekonomi, transformasi nilai-nilai, modifikasi idiologi menjadi semacam idiologi baru atau mungkin melangka ke –sebutlah transidiologi (Emha A. Nadjib, 1998: 329).
Globalisasi dan modernisasi menjadi bagian dari fenomena dunia yang semakin lebih dinamis dan berubah. Dampak dari arus tersebut tidaklah bisa dihindari dan dimusuhi, karena semua itu sesuai dengan perkembangan zaman dan hasil pola pikir manusia yang selalu menuntut untuk maju, berubah kearah yang lebih baik terhadap hidupnya. Modernisasi yang begitu besar pengaruhnya terhadap perkembangan hidup dan kehidupan manusia seperti mudahnya kita dalam melakukan segala aktivitas dan semakin cepatnya proses yang dihasilkan oleh alat atau media yang disebut buah karya budaya. Semua itu merupakan konsekuensi dari arus modernisasi sebagai manifestasi budaya manusia.
Selain dampak positif yang dihasilkan oleh arus globalisasi dan modernisasi seperti tergambar sekilas di atas, suatu keniscayaan pula ekses negatif (destruktif) dari pengaruh tersebut. Orang dengan semakin mudah untuk mengkonsumsi dan mengadopsi segala bentuk makanan, minuman, nilai-nilai budaya yang notabene adalah produk-produk dari orang-orang yang hendak menghancurkan moral-moral kepribadian yang sudah mapan (Islami). Generasi muda kita dilatih untuk menjadi pribadi-pribadi yang liberal, sadisme, pemalas, dan lain sebagainya. Itu semua dipengaruhi oleh tayangan-tayangan, obat-obatan, dan minuman keras yang merusak mental, yang ditimbulkan oleh mereka yang memiliki kepentingan terhadap kita sebagai umat atau komunitas.
Bangsa kita yang tadinya memiliki kekayaan budaya, kepribadian yang khas kini sudah mulai terisolasi karena pengaruh-pengaruh budaya luar. Dulu bangsa Indonesia terkenal dengan keramahannya, kasih sayangnya, kebersamaannya, sekarang semua itu hanya tinggal kenangan dan sebagai catatan sejarah bangsa. Justru sekarang malah sebaliknya, orang sekarang sudah mulai gontok-gontokan, kejahatan semakin merajalela, budaya sadisme mulai bermunculan dan anarkisme tanpa batas sudah tidak terelakkan. Itulah yang menjadi keprihatinan kita saat ini.
Dalam merekayasa sosial, perlu adanya bentuk-bentuk baru yang lebih relevan terhadap keadaan seperti ini. Rekayasa sosial sebagai bagian dari bentuk dakwah Islam, perlu adanya rekonstruksi metodologis formulasi dakwah ke arah yang lebih relevan dan progresif. Sesuai dengan perkembangan zaman, dakwah keagamaan dalam perkembangannya pun telah mengalami perubahan bentuk, cara, dan penekanan. Dahulu penekanan pemaparan ajaran agama dititikberatkan pada usaha mengaitkan ajaran-ajarannya dengan alam metafisika, sehingga surga, neraka, nilai pahala dan beratnya siksaan mewarnai setiap ajakan keagamaan (M. Quraish Shihab, 2000: 70).
Maka melalui ini, kita akan mencari dan memberikan alternatif formulasi dakwah yang lebih relevan dan tidak hanya terus mempertahankan metode dakwah konvensional.

FORMULASI DAKWAH DALAM MASYARAKAT MODERN
Dakwah keagamaan di masa depan bukanlah kiat untuk membuat Tuhan tidak marah, tetapi bagaimana membuat manusia semakin santun pada sesama. Di tengah masyarakat madani, reformasi sosial-politik dan budaya serta pertarungan politik dengan beragam idiologi dan simbol, peran agama akan tergantung pada kemampuannya menyelesaikan berbagai persoalan kemanusiaan. Masyarakat baru yang madani atau yang lainnya adalah masyarakat yang mandiri dan bebas di hadapan Negara, lembaga, dan hukum, termasuk hukum keagamaan (Abdul Munir Mulkan, 1999: 1).
Dakwah yang mesti kita lakukan dalam masa kekinian adalah dakwah yang bisa menjamin kepada kemakmuran masyarakat, kesadaran berkeadilan, dan lebih meningkatkan kepada kesejahteraan yang berperadaban. Bukan lagi dakwah yang hanya menyampaikan pesan-pesan menakutkan, sehingga orang akan lari dan menjauh dari dakwah yang dilakukannya.
Dakwah merupakan kekuatan moral yang mampu menggerakkan perubahan sosial serta menawarkan satu alternatif dalam membangun dinamika masa depan umat, dengan menempuh cara dan strategi yang lentur, kreatif, dan bijak (Asep Saepul Muhtadi, 2000: 33).
Upaya menyampaikan pesan ajaran agama, dakwah harus bisa memotivasi umat dalam menyongsong jalannya pembangunan ke arah yang lebih relevan dan maju. Hal senada diungkapkan oleh M. Quraish Shihab (2000: 71) ajaran agama diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk lebih berpartisipasi dalam pembangunan, sambil membentengi penganut-penganutnya dari segala macam dampak negatif yang mungkin terjadi akibat pembangunan.
Proses
Dalam masyarakat baru atau sebelumnya, problem agama seharusnya bukan problem pemanjaan Tuhan yang terlalu sibuk mengurusi Tuhan, surga atau neraka. Problem agama adalah pembebasan manusia dan dunia dari kemiskinan, konflik etnis keagamaan, penindasan atas nama Negara, idiologi politik, bahkan atas nama agama dan iptek. Labih lanjut A. Munr Mulkan (1999) menyatakan agama haruslah diartikan sebagai wacana kebudayaan karena bagaimana pun wahyu Tuhan akan berubah menjadi masalah kebudayaan begitu disentuh oleh manusia. Praktek keagamaan dan dakwah yang berlebihan dalam mengurus Tuhan akan membuat agama dan dakwah cenderung tidak manusiawi dan tidak peduli terhadap persoalan manusia. Ketidakmanusiaan dan kepedulian agama pada masalah kemanusiaan menjadi semakin besar ketika agama dimanupulasi sebagai doktrin organisasi politik dan kenegaraan atau kebangsaan.
Agama adalah urusan kemanusiaan dan kebudayaan yang sama seklai bersifat profan dan bebas dari kesakralan. Tuhan sendiri menyampaikan wahyu melalui media budaya pada saat mana yang gaib menjadi mendunia.
Dalam keadaan demikian itulah strategi dakwah harus dikembangkan berdasarkan basis budaya lokal yang beragam. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas keagamaan bertumpu pada kondisi warga yang aktual melalui proses kulturil dan induktif. Dakwah bukanlah pemaksaan penuh kekerasan pisik atau mental melalui neraka dan kemarahan Tuhan agar mematuhi syari’at. Jika demikian, agama akan selalu bersifat barang asing dan eksternal yang tidak mencakup pada kehidupan manusia karena tidak menyentuh akar kebudayaan dan bertumpu pada kekuatan dari dalam diri warga masyarakat tersebut.
Menurut A. Saeful Muhtadi (2000: 33) dakwah dilakukan dalam suatu setting masyarakat yang beragam (pluralistik), baik dalam corak maupun keadaannya, serta dengan segala problematikanya.
Masyarakat sebagai sasaran dakwah, bukan masyarakat yang vakum, tetapi senantiasa berubah mengikuti dinamika zaman dengan segala tuntutan dan konsekuensinya.
Dakwah dilakukan bagi masyarakat masa kini, dan dalam upaya antisipatif terhadap kecenderungan masyarakat yang akan datang.
Masyarakat yang demikian itu popular disebut “Era Indonesia Modern” yang kini sedang melaju menuju era informasi, atau karena perkembangan teknologi komunikasi disebut juga dengan “Era Komunikasi Massa”.
Pesan-pesan Universal Dakwah
Pesan ajaran Islam yang merupakan nilai kemutlakan dalam merefleksikannya atau mentransformasikannya harus bisa menyentuh kepada inner aspect (aspek dalam) dalam setiap kehidupan masyarakat. Ajaran Islam yang begitu universal dan holistik harus bisa disampaikan secara konprehensif, jangan hanya mengkaji, mempelajari pada satu bidang saja sehingga orang hanya akan terkungkung pada satu persoalan yang begitu parsial dan puruhiyah, seperti hanya masalah fiqih, atau hanya tasawuf, pada ujung-ujungnya akan melahirkan umat yang apatis dan statis.
Dakwah merupakan rahmatan lil ‘aalamiin. Karena itu ia harus disampaikan, tanpa tawar menawar, oleh dan untuk seluruh umat manusia.
Disampaikan dalam kerangka dasar ‘amar ma’ruf nahyi munkar, penuh persuasive, demokratis, dan metodologis (A. Saeful Muhtadi, 2000: 33).
Masyarakat Indonesia Kini dan Mendatang
Masyarakat yang sedang membangun, yakni sedang melakukan perubahan-perubahan dalam semua sektor hidup dan kehidupan, baik menyangkut fisik materil maupun mental spiritual. Sebagai akibat –langsung maupun tidak langsung- dari proses tersebut, maka msyarakat Indonesia kini dan mendatang dapat diformulasikan ke dalam masyarakat yang memiliki ciri-ciri:
1.      Masyarakat fungsional, yakni masyarakat yang anggota-anggotanya hanya menjalankan fungsinya dalam semua aspek kehidupan. Hubungan antara manusia terjadi hanya karena motif-motif kepentingan (fungsional), yang biasanya terkonotasi fisik material.
2.      Masyarakat rasional, yakni masyarakat yang mendasarkan penghargaannya pada nilai-nilai rasional dan objektif. Tantangannya, agama dianggap sebagai sesuatu yang tidak ilmiah, irasional, dan lain-lain. Ciri lain dari masyarakat ini adalah terbuka, serba nilai, transendentalisasi agama, dan lain-lain.
3.      Masyarakat teknologis, yakni masyarakat yang menganut pertimbangan efisiensi, produktivitas. Ini biasanya menggambarkan ciri masyarakat materialistik. Tantangannya, posisi dan peran agama dipertanyakan.
Dengan begitu, secara kasar dapat dikatakan bahwa pembangunan pada akhirnya merupakan proses rekayasa budaya masyarakat. Dalam kerangka itu dakwah merupakan proses rekayasa sumber daya insani dan alami, dan bahkan potensi fitri.
Formulasi Dakwah Alternatif
Dalam keadaan masyarakat yang sedang dan akan mengalami perubahan-perubahan yang sangat cepat menuju “Era Indonesia Modern” dan atau “Era Komunikasi Massa”. Masa relevansi formulasi metodologis dakwah harus bisa diwujudkan. Dakwah alternatif bisa dilakukan dengan:
1.      Multi dialog: suatu alternatif pendekatan. Dakwah harus bisa disampaikan secara dialogis dalam berbagai sektor. Dalam bahasa Al-Qur’annya disebut Mujadalah, tetapi tetap dalam rangkaian hikmah dan mauidzah hasanah. Konsekuensinya, menuntut kemampuan multi disiplin dan profesionalisme.
2.      Alternatif media: sebagai upaya menyiasati kemungkinan-kemungkinan masyarakat seperti disebut di atas, ada beberapa alternatif media yang mungkin dapat digunakan antara lain:
  1. Media Lisan (dakwah bil lisan)
-      Melalui komunikasi interpersonal
-      Public speaking
-      Melalui media komunikasi massa (radio, TV, dan lain-lain)
  1. Media Tindakan / Uswah (dakwah bil hal)
-      Melalui lembaga-lembaga sosial, pendidikan, dan lain-lain
-      Akhlaq Karimah (Uswah Hasanah)
-      Melalui lembaga-lembaga politik
  1. Media Tulis atau media cetak (dakwah bil kitabah)
-      Melalui media cetak seperti Koran, majalah, dan lain-lain
-      Lembaran-lembaran dakwah
-      Buku-buku
-      Dan lain-lain.



KESIMPULAN
Interpretasi dakwah yang universal jangan kita asumsikan kepada term secara parsial yang mengakibatkan kepada pemahaman dakwah secara sempit dan tidak membangun umat kepada kebaikan dan kemakmuran. Dakwah di era modernisasi dan arus globalisasi, perlu adanya rekonstruksi metodologis dan pendekatan signifikan dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah kepada masyarakat yang menjadi sasaran dakwah.
Selain memberikan pemahaman, mengajarkan kepada kebaikan-kebaikan terhadap Tuhan, dakwah juga harus bisa merubah kepada aspek budaya yang berbeda dengan ajaran yang hakiki dan bisa menjadikan orang semakin santun, adil, menghormati orang lain, dan memiliki rasa kasih sayang yang tinggi di antara sesama manusia.
Dakwah di dalam masyarakat modern, dipandang perlu adanya perubahan-perubahan dalam metode dan pendekatan yang berarti, sebab zaman yang semakin berubah merupakan bagian dari realitas dunia dan suatu keniscayaan (sunnatullah).
Alternatif dakwah pada masyarakat kontemporer bisa dilakukan melalui pendekatan: 1) multi dialog, 2) alternatif media: media lisan, media tindakan, dan media tulisan atau media cetak.


Referensi:
Editor Asep S. Muhtadi dan Sri Handayani, Dakwah Kontemporer Pola Alternatif Dakwah Melalui Televisi (Bandung, Pusdai Press: 2000)
Emha Ainun Nadjib, Surat Kepada Kanjeng Nabi (Bandung, Mizan: 1998) cet. Ke-III
M. Quraish Shihab, Lentera Hati (Bandung, Mizan: 2000) cet. Ke-20

hasil penelitian Manajemen dakwah


POLA DAKWAH YAYASAN MUTHAHHARI
Oleh,
Bukhori muslim


Konsentrasi Ilmu dakwah
Pascasarjana
Universitas Islam Negeri
Sunan Gunung Djati Bandung
2008

PROFIL YAYASAN MUTHAHHARI
Latar Belakang
Yayasan Muthahhari pada mulanya dilatarbelakangi oleh kepulangan Jalaluddin Rakhmat dari Amerika. Oleh kalangan mahasiswa ada sosok yang dianggap menarik menurut mereka,  di antaranya ada bang Imad, dan ada Ust. Jalaluddin Rakhmat. Dari ketertarikannya pada  figur-figur tersebut maka diadakanlah pengajian di masjid-masjid di sekitar Bandung. Dalam pengajiannya memang membawa pada hal-hal yang baru, sehingga jamaah pengajiannya semakian lama semakin bertambah. Entah karena jamahnya semakin bertambah atau mungkin masjid-masjid tidak dikehendaki untuk pengajian-pengajian seperti ini maka pengajian sempat diadakan di rumah. Dan sampai sekarang pengajiannya masih terus berjalan yaitu pada hari ahad pagi atau pengajian duha. Tetapi masyarakat setempat menempatkan pengajiannya di masjid Al-Munawwarah sampai sekarang.  
Materi yang diberikannya macam-macam, di antaranya ilmu Hadits, Filsafat, dan lain-lain. Kebanyakan penggerak pengajian ini adalah kalangan mahasiswa, maka tidak heran pesertanya lebih banyak mahasiswa. Maka dari itu dibutlah lembaganya yang dinamakan Yayasan Muthahhari.
Yayasan Muthahhari dulunya masih ngontrak, kemudian tahap demi tahap mulai membangun dan dengan bantuan donatur, sehingga sampai sekarang terwujudlah  bagunan yang kokoh lagi megah
Nama Muthahhari terinspirasi dari salah satu ayat dalam Al-Qur’an surat Al-Waqi’ah (laa Yamassuhu illal mutahharun), artinya yang disucikan, sebab para nabi juga termasuk yang selalu dijaga dan disucikan. Dengan demikian harapan yayasan adalah untuk mewujudkan umat manusia yang disucikan. Kedua dari sosok pemikir Murtadho Muthahhari.(Miftah F. Rakhmat, Wawancara 11/1/08)
Menurut Jalaluddin Rakhmat, Muthahhari bukan hanya sekedar istilah. Namun Muthahhari adalah sebuah model. Dia keluaran sistem pendidikan Islam tradisional. Dia diasuh dan dibesarkan oleh pondok pesantren yang sama sekali tidak modern. Dia ulama menurut istilah yang pengertiannya belum diperluas. Kemudian, dengan tekun, dia memperluas pengetahuanya dengan informasi mutakhir. Dia mempunyai spesialisasi dalam pemikiran islam tradisioinal, tetapi juga akrab dengan pemikiran barat modern. Dia bukan hanya mengetahui Mulla Shadra. Dia mengerti Monsieur Sartre. Setelah mengajar di pesantren, dia menjadi dosen di Universitas.
Disamping itu, kami melihat Muthahhari juga merupakan model untuk keterbukaan. Dia menghargai bukan hanya madzhab-madzhab pemikiran dalam Islam. Dia bersedia melakukan dialog dan kalau perlu menerima kebenaran bahkan dari madzhab-madzhab pemikiran non-Islam. Secara berkelakar, atau boleh jadi serius, Muthahhari berkata: ”Mungkin Descartes pun masuk surga!”
Muthahhari bukan sekedar pemikir, dia juga aktivis. Dia menggambarkan intelektual dalam pengertian yang sebenarnya. Dia mengabaikan hidupnya untuk mewujudkan ide-idenya dalam realitas. Dia “man of analysis” dan sekaligus “man of action”. Ketika dia mati dibunuh lawan politiknya, dia telah menggabungkan tinta ulama dengan darah syuhada.
Dari Muthahhari, kami mengajar tiga hal: pertemuan ilmu-ilmu Islam tradisional dengan ilmu-ilmu modern, keterbukaan, serta gabungan antara intelektualisme dan aktivisme. Inilah yang mendasari semua kegiatan Yayasan Muthahhari. Ini juga misi yang kami emban (Jalaluddin Rakhmat, 1993:7).
Nama lembaga Muthahhari bukan berarti tidak mengandung resiko, karena Muthahhari itu adalah orang Iran, dan Iran itu identik dengan Syi’ah. Oleh karenanya, lembaga ini dianggap lembaga Syi’ah. Padahal Yayasan Muthahhari meneruskan tradisi dulu, seperti Al-Ghazali adalah orang Iran, Ibn Sina, dan Renaissanse Islam itu adalah orang-orang Iran. Selain itu, ditambahkan oleh Miftah, supaya timbul penasaran alasan mengapa dinamakan Muthahhari (Miftah F. Rakhmat, Wawancara 11/1/08).

Tahun Beridiri
Yayasan Muthahhari didirikan pada tahun 1988. Tetapi sebelumnya bermula dari kegiatan pengajian mahasiswa pada tahun 1983-1986. sedangkan Pendirinya adalah Jalaluddin Rakhmat, Haidar Bagir, dan Ahmad Tafsir. (Miftah F. Rakhmat, Wawancara 11/1/08)
Lembaga yang ada di bawah yayasan
Adapun lembaga yang terdapat di bawah Yayasan adalah sebagai berikut:
1. Madrasah Assajadiyyah, madrasah ini seperti madrasah diniyah, awalnya dari pengajian biasa. Santrinya selain mengaji juga diberi tunjangan seperti SPP.  Jadi orang tua yang menitipkan anaknya ke madrasah ini memperoleh dua keuntungan yaitu ilmu dan biaya sekolah atau SPP, jadi SPP tidak geratis begitu saja, tetapi diperoleh dari ikut ngaji. Sumber dana yang diperoleh dari Allah, dan RasulNya, dan dari donator-donatur tetap kaum muslimin. Dan mungkin inilah yang membedakan dengan pesantren yang lain.
2. Sekolah Dasar (SD), SD ini lokasinya di daerah Arcamanik Bandung
3. Sekolah Menengah Pertama (SMP), lokasinya di daerah Rancaekek
4. SMU Plus Muthahhari, sekolah ini berada di jalan Kampus II No. 13-17, Babakan Sari Kiaracondong Bandung.
IJABI dan Perayaan As-Syura
 Selain dari tersebut di atas, terdapat juga IJABI, yaitu ikatan jamaah Ahlu Al-Bait Indonesia, yang didirikan dan diketuai oleh Jalaluddin Rakhmat sekaligus pendiri Yayasan Muthahhari. IJABI adalah bagian ormas Islam yang ada di Indonesia, dan ormas ini secara organisasi tidak terkait dengan Yayasan Muthahhari. Paling dalam momen-momen tertentu diadakan kerjasama seperti dalam perayaan As-Syura (Miftah F. Rakhmat, Wawancara 11/1/08).
Kegiatan As-Syura adalah kegiatan rutin tahunnan yayasan Muthahhari, oleh karena itu sebelum IJABI dibentuk, Muthahhari selalu merayakannya. As-yura itu identik dengan Islam, oleh karena itu bukan hanya identik dengan IJABI atau Muthahhari, karena di Padang selalu diadakan perayaan As-Syura, di Bengjulu ada perayaan As-Syura dan di jawapun sama selalu dirayakan As-Syura bahkan sampai menjadi nama bulan.
Karakteristik kegiatan As-Syura yang biasa dilakukan oleh yayasan Muthahhari adalah seperti pengajian, syalawatan, penyampaian kisah melalui teater dan derama, serta pagelaran seni. Biasanya Ustad Jajaluddin Rakhmat dalam perayaan tersebut berperan sebagai penceramah, narrator atau pembaca narasi. Selain itu ada kegiatan-kegiatan seperti bakti social, pengobatan gratis dan lain-lain. (Miftah F. Rakhmat, Wawancara 11/1/08)

PEMBAHASAN
POLA DAKWAH YAYASAN MUTHAHHARI
Pada dasarnya pola dakwah yang dibagun oleh Muthahhari adalah sama dengan lembaga-lembaga Islam yang lain. Mungkin yang berbeda dengan lembaga yang lain adalah membangun sikap kritis. Membangun sikap atau budaya kritis bukan bertujuan untuk menjadi ragu, tetapi ini sebuah metode dengan hentakkan, melontarkan pertanyaaan-pertanyaan yang menghentakkan seperti membuat pertanyaan kenapa kita mesti beragama?, kalau beragama kenapa harus Islam? Dengan hentakan-hentakan seperti ini akan timbul kesadaran dan keyakinan yang kuat. Sebab Murtadha Muthahhari mengatakan: “lebih baik keragu-raguan yang mendatangkan keyakinan, daripada keyakinan yang mendatangkan keragu-raguan”.
Berkaitan dengan metode dakwah ini paling tidak ada tiga tahap untuk mewujudkan khairu ummah ini sebagai mana dibaratkan oleh Allah dalam surat Ibrahim ayat 24, yang pertama persoalan akidah, kedua, pemahaman syariah yakni pemahaman langit atau pemahaman dari yang maha tinggi. Dan yang ketiga adalah akhlaq yang tidak kenal batas. (Miftah F. Rakhmat, Wawancara 11/1/08)
Dalam kompleksitas persoalan yang menuntut pendekatan interdisipliner, perlu pula dilahirkan dan ditampilkan ulama-ulama Islam yang sedapat mungkin menguasai kedua cabang ilmu (ilmu umum dan ilmu agama) yang sama-sama diperlukan itu. Sesuai dengan istilah sekarang ini --menurut pandangan kami- kita membutuhkan “ulama intelektual” dan “intelektual ulama”. Dengan istilah tersebut dimaksudkan, paling tidak, penguasaan salah satu diantara kedua cabang ilmu tersebut dan keakraban dengan cabang yang lainnya.
Strategi dakwah yang dibangun Yayasan Muthahhari tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran dan gerakan yang dibangun dan dilakukan oleh Murtadha Muthahhari, karena pemikiran-pemikiran Muthahhari mencakup hamper seluruh bidang pemikiran yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan umat Islam: pada peringkat filosofi dan jangka panjang mengarah kepada perumusan pandangan- dunia Islam.
Selain itu, pandangan-pandangan Muthahhari mengesankan pribadi seorang ilmuwan yang terbuka dan moderat. Sikap ilmiah, yang mengambil bentuk skeptisisme-sehat dan keterbukaan memang tampak menonjol dalam diri tokoh ini.
Muthahhari adalah pembela gigih prinsip kebebasan berpikir dan berkepercayaan. Beliau memahami bahwa eksistensi Islam tidak bisa dipertahankan kecuali dengan kekuatan ilmu dan pemberian kebebasan ide-ide yang bertentangan dengan sebelum, pada gilirannya, membantahnya.
Pikiran-pikiran Muthahhari mentransendensikan kontroversi kemazhaban dan dengan demikian menampilkan ajaran-ajaran Islam yang utuh, bebas dari sektarianisme dan, dengan demikian, efektif tetapi juga dinamik.
Setelah segala kelebihan-kelebihannya, Muthahhari menampilkan keteladanan dalam akhlak. Teoritis, ia memang percaya bahwa selain dengan inteligensia, pengetahuan hanya bisa diperoleh dengan kebersihan diri yang merupakan hasil proses tazkiyah (penyucian) (Jalaluddin Rakhmat, 1993:17-20).
Dengan demikian pendirian Yayasan Muthahhari untuk pencerahan pemikiran Islam yang bergerak dalam bidang penelitian dan jasa-jasa pendidikan serta informasi bagi masyarakat Islam di Indonesia (Jalaluddin Rakhmat, 1993:20).
Media yang digunakan
Adapun media yang digunakan dalam mentransformasikan nilai-nilai kebaikan dalam Islam diantaranya sebagai berikut: buletin al-tanwir, pernah membuat jurnal tetapi terhenti, CD, VCD, kaset, dan situs (Miftah F. Rakhmat, Wawancara 11/1/08).
Peluang
Peluang pada perinsipnya sama dengan lembaga dakwah yang lain seperti munculnya aliran sesat, dengan munculnya aliran-aliran sesat seperti itu supaya kita mengkaji kembali pemahaman yang berbeda. Yaitu dengan menggunakan solusi dikejutkan; yang dikira sudah mapan ternyata tidak.
Berkaitan dengan munculnya aliran sesat seperti Ahmadiyah, mereka perlu diberikan hak untuk menyampaikan kenapa harus berbeda, atau diberi hak berpendapat. Sebenarnaya bukan fatwanya yang salah tetapi pemahaman masyarakat yang salah. Dan ulama harus menunjukkan kekeliruannya, dan diberi nasihat. (Miftah F. Rakhmat, Wawancara 11/1/08)
Tantangan
Tantangannya  yaitu hanya satu seperti menurut Quraish Shihab, ialah orang yang merasa paling benar. Menurut Quraish Shihab Bahwa perbedaan itu hanya akan menjadi rahmat seandainya disertai dengan sikap dewasa kaum muslimin itu sendiri. Artinya, semua kita mestinya bersikap terbuka dan tidak menganggap kebenaran adalah monopoli kelompok kita, sedangkan kesalahan menjadi milik orang lain. (Miftah F. Rakhmat, Wawancara 11/1/08)       

PENUTUP
Pada prinsipnya pola dakwah yang dilakukan oleh Yayasan Muthahhari adalah sama dengan lembaga-lembaga dakwah Islam yang lain. Tetapi yang membedakannya mungkin -diantaranya membangun sikap kritis, terbuka, dan mencerahkan pemikiran.
Yayasan Muthahhari menampilkan ajaran Islam yang utuh, bebas dari sektarianisme, dan dengan demikian, efektif tetapi juga dinamik. Hal ini terasa pada saat penulis melakukan penelitian dengan mengikuti pembelajaran di sekolah SMU Muthahhari yang langsung dibimbing oleh Miftah F. Rakhmat pada mata pelajaran ulumul hadits. Pada waktu itu saya sampai dapat menyimpulkan bahwa sistem pembelajarannya bersifat terbuka, ada proses pencerahan pemikiran, dan menuntut budaya kritis tentang apa yang dipelajari, tetapi dalam batasan etika yang manusiawi, khidmat, dan harmonis antara pelajar dan guru (ustadz). Dengan demikian, kehadiran Yayasan Muthahhari adalah untuk pencerahan pemikiran Islam.
Wallahu A’lam