Rabu, 27 Mei 2015

SEJARAH, TOKOH, AKTIVITAS DAN PENGARUH ALIRAN KEBATINAN PERJALANAN: KEPERCAYAAN KEPADA TUHAN YANG MAHA ESA. (KP. Karang Pawitan Rt. 01/15, Dusun Cipaku, Desa Paku Tandang, Ciparai Bandung)



SEJARAH, TOKOH, AKTIVITAS DAN PENGARUH ALIRAN KEBATINAN PERJALANAN:
KEPERCAYAAN KEPADA TUHAN YANG MAHA ESA.
(KP. Karang Pawitan Rt. 01/15, Dusun Cipaku, Desa Paku Tandang, Ciparai Bandung)

A.    Pendahuluan
                Dalam diskursus keagamaan kontemporer dijelaskan bahwa “agama” ternyata mempunyai banyak wajah (multifaces) dan bukan lagi seperti orang dahulu memahaminya, yakni hanya semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, kredo, pedoman hidup, ultimate concern dan seterusnya. Selian ciri dan sifat convensionalnya yang memang mengasumsikan bahwa persoalan keagamaan hanyalah semata-mata persoalan ketuhanan, agama ternyata juga terkait erat dengan persoalan-persoalan historis cultural yang juga merupakan keniscayaan manusiawi belaka.[1]
Perjalanan hidup manusia tidak dapat terlepas daripada kepastian sejarah dari masa lalunya, dimana manusia sebagai pelaku dan sekaligus juga sebagai pengembang sejarah atas kebudayaan dan agama yang dianutnya, oleh karena itu persoalan agama adalah persoalan hidup dan kehidupan manusia. Agama oleh kebanyakan orang merupakan factor penggerak dan penentu dalam kehidupannya. Dengan demikian agama dapat meiliki fungsi social yang amaat penting. Hal ini seperti  Condorcet yang dikutif oleh E.E. Evans Pritchard[2] mengakui bahwa agama meskipun salah, pada suatu ketika memiliki fungsi soaial, dan karenanya memiliki peranan penting dalam perkembangan kebudayaan.
            M. Amin Abdullah Lebih lanjut menyatakan, dari studi historis-empiris terhadap fenomena keagamaan,diperoleh bahwa agama sesungguhnya sarat dengan berbagai ” kepentingan “ yang menempel dalam ajaran dan batang tubuh ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri.[3] Terkadang sulit ditemukan untuk membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah selain dari agama. Sebab persoalan hidup selalu dikaitkan dengan agama dan agama selalu juga dikaitkan dengan yang lain. Munculnya kaum reduksionis[4] (seperti  Karl Marx, Freud, dan Durkheim), tanpa mereka sadari bahwa mereka telah mereduksi agama menjadi sesuatu yang lain dari agama itu sendiri[5]. Ini merupakan bukti betapa kuatnya kepentingan yang lain terhadap agama, ataupun sebaliknya bagai mana agama begitu kuat mempengaruhi yang lain. Dengan demikian betul seperti yang dikemukakan M. Amin Abdullah bahwa agama syarat dengan berbagai “kepentingan”.
            Munculnya fenomena aliran kepercayaan dan keyakinan dalam tradisi keagamaan merupakan bagian daripada fenomena social dan fenomena budaya. Munculnya aliran, pemahaman, bahkan gerakan “keagamaan”, sering dilatar belakangi oleh kegelisahan social, atau juga merasa tidak memiliki atau tidak dapat menemukan kepuasan pada agama yang mendahuluinya. Tetapi juga tidak sedikit munculnya aliran keagamaan yang bersifat local ini merupakan hasil refleksi pemikiran dari tokoh pendiri,  ­-oleh kebanyakan orang disebutnya wangsit. Namun Aliran kepercayaan atau agama primitive dalam hal ini agama lokal secaraa langsung ataupun tidak langsung telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap studi agama dari persepektif budaya mereka masing-masing.[6]
            Oleh karena itu penulis mengangkat aliran kebatinan perjalanan ini sebagai objek penelitian, karena ia merupakan aliran kepercayaan atau agama primitive yang bersifat local. Namun dalam hal ini penulis hanya akan lebih banyak mejelaskan tentang aktifitas dan pengaruh dari aliran kebatinan perjalanan ini, sekalipun tidak menutup kemungkinan akan menyinggung pula pada persoalan-persoalan yang lain.
 
B.      Sejarah Pertumbuhan Dan Tokoh
AKP (Aliran Kebatinan Perjalanan) disebut sebagai agama kuring (Bahasa Sunda) yang artinya agama saya, AKP juga disebut agama Pancasila, agama petrap atau Traju Trisna, ilmu sejati, Jawa-jawi mulia, agama Yakin Pancasila, agama sunda atau Permai[7] Aliran ini berdiri pada hari sukra atau Jumat Kliwon jam 12.00 betepatan dengan tanggal 19 Hasyi (maulud) tahin 1858 Saka bertepatan juga dengan tanggal 17 September 1927, di kampung Cimerta, Kelurahan Pasir Kareumbi,kecamatan Subang, Kabupaten Subang. Pada masa itu Subang berada  dalam wilayah Yurisdiksi Purwakarta.
            Secara geografis wilayah Pasir Kareumbi berada pada wilayah perkotaan. Hanya berjarak 0,5 Km dari pusat kota Subang. Kelurahan Pasir Kareumbi dan wilayah kota Subang sebagaian adalah daerah pegunungan dengan ketinggian 723-785 Meter dari permukaan laut, sehingga tampak indah dan asri.
            Yang menjadi pionir dan sekaligus Tokoh utama Aliran kebatinan perjalanan ini bernama Mama Mei Kartawinata, ia dilahirkan pada tangal 17 September  1927 di kebon jati Bandung. Kemudian ia menetap di kampung  Suka Sirna, Cicadas Bandung. Ibunya berasal dari Citeurep Bogor, konon katanya ia merupakan keturunan raja Padjajaran. Sedangkan bapaknya dari Remang Jawa Timur, dimana ia merupakan keturunan kerajaan Brawijaya Majapahit.[8]
            Secara historis AKP didirikan oleh tiga orang, yaitu Mei Kartawinata, M. Rasyid dan Sumitra. Pada mulanya mereka bekerja di sebuah percetakan di Subang. Dan menjadi kawan karib, sehingga mereka suka berkumpul untuk membicarakan suka-duka masing-masing, baik masalah keluarga maupun keilmuan. Sejak saat itu mereka satu sama lain sudah menyukai ajaran kebatinan.
            Dari Biografinya, Mei Kartawinata lahir pada 1 Mei 1897 di Kebonjati Bandung. Ada juga yang mencatat bahwa tahun kelahirannnya 1 Mei 1898 di Ciparay bandung. Pada masa remajanya Mei Kartawinata, ia mengikuti dan tinggal bersama kaka iparnya di kediaman sultan Kanoman Cirebon. Pendidikan yang ia peroleh dari sekolah rakyat (HIS Zendingschool pada zaman belanda) sampat tamat. Sehingga ia banyak berinteraksi dan mengenal teologi Kristen. Sekalipun Sekolah rakyat, pada saat itu sudah dikategorikan dan dipandang terpelajar. Selain itu ia pernah belajar di pesantren, sehingga diduga kuat ia pandai membaca kitab kuning.
Dari latar belakang pendidikan pesantren itu tidak menutup kemungkinan ia juga menyerap pemikiran teologi murjiah dari kitab kuning tertentu. Karena secara faktual teologi murjiah mendukung pemikiran kebatinan. Dalam teologi murjiah, iman cukup dengan percaya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan amal tidak merupakan keharusan bagi adanya iman. Dari sini, seseorang dapat menyatakan bahwa ia tetap seorang mukmin, meski meninggalkan hal-hal yang diwajibkan atau difardukan, bahkan terus melakukan perbuatan dosa.
Selain pemikiran teologi Murjiah, ada juga pemikiran/aliran syiah. Yang cukup terkenal adalah sejarah Islam adalah Syiah Ghulat. Dinamakan Syiah ghulat karena pemikiran yang cukup ekstrim. Diantara pemikiranya bahwa ada beberapa orang manusia dianggap sebagai Tuhan, dan bebrepa orang dianggap sebagai Rasul setelah kerasulan Muhammmad Saw. Pemikiran yang menyimpang ini telah menjalar di dunia Islam, sehingga berdampak pada timbulnya perpecahan di dunia Islam.
Maka sangat beralasan kalau Mei Kartawinata pun mengembangkan aliran kebatinan seperti yang berkembang di dunia Islam pada masa yang lalu.   Sosok Mei Kartawinata termasuk orang yang banyak bergaul dengan kehidupan priyai keraton, apalagi ia termasuk orang yang terpelajar, pantas ia banyak memahami ilmu kebatinan atau ilmu kepribadian Ketuahan YME di komplek Kraton Cirebon. Di keraton Cirebon banyak berkembang aliran kebatinan antara lain Ngelmu Sejati. Aliran ini dikenal sebagai Agama Kuring, atau Ngelmu Garingan, maksudnya ilmu kering, karena pengikutnya kurang rajin menjalankan syareat Islam, seperti salat yang selalu identik dengan air untuk berwudhu. Dapat kita duga Ia sangat terpengaruh dengan kebatinan yang berkembang di lingkungan kraton Cirebon.

C.      Wangsit
Berikut adalah wangsit-wangsit yang mendasari berdirinya aliran kebatianan perjalanan:
Wangsit Pertama:
“Janganlah dirimu dihina dan direndahkan oleh siapapun, sebab dirimu tidak lahir dan tidak besar oleh sendirinya, akan tetapi dirimu dilahirkan dan dibesarkan penuh dengan cinta kasih ibu dan bapakmu. Bahkan dirimu itu sendirilah yang melaksanakan segala kehendak dan cita-citamu yang seyogyanya kamu berterimakasih kepdanya.”
Wangsit kedua:
”Barang siapa menghina dan merendahkan dirimu, sama juga artinya dengan menghina dan merendahkan ibu bapakmu bahkan leluhur bangsamu.”
Wangsit ketiga:
”Tiada lagi kekuatan dan kekuasaan yang melebihi kekuatan dan kekuasaan Tuhan YME, belas dan kasih. Sifat belas dan kasih itupun dapat mengatasi dan menyelesaikan segala pertntangan atau pertengkaran, bahkan dapat memadukan paham dan usaha untuk mencapai tujuan yang lebih maju serta menyempurnakan akhlak dan meluhurkan budi pekerti manusia.”
Wangsit keempat:
“Dengan kagum dan takjub kamu menghitung tetesan air yang mengalir yang menuju kesatuan mutlak yaitu lautan, sambil memberikan manfaat kepada kehidupan manusia, binatang, dan pepohonan atau tetumbuhan. Akan tetapi kamu belum pernah mengagumi dan takjub kepada dirimu sendiri yang telah mempertemukan kamu dengan dunia beserta segala isinya. Bahkan kamu belum pernah menghitung kedip matamu. Sungguh betapa nikmatnya apa yang kamu rasakan, padahal semua itu sebagai hikmah dari Tuhan YME”
Wangsit kelima:
Kemanapun kamu pergi dan dimanapun kamu berada, Tuhan YME akan selalu bersama denganmu.”
Wangsit enam:
Perubahan besar dalam kehidupan dan penghidupan manusia akan menjadi pembalasan terhadap segala penindasan serta mencetuskan atau melahirkan kemerdekaan hidup bangsa.”
Wangsit kedelapan:
Cintailah sesama hidupmu tanpa memandang jenis dan rupa. Sebab apabila hidup telah meninggalkan jasad, siapapun akan berada dalam keadaan yang sama. Ia tidak mempunyai daya dan upaya. Justru selama itu, selama kamu masih hidup, berusahalah agar kamu dapat memelihara kelangsungan hidup sesamamu. Sesuai dengan kodratnya menurut kehendak Tuhan YME.”
Wangsit kesembilan:
Batu di tengah sungai, jikalau olehmu digarap menurut kebutuhan, kamu manjadi kaya raya karenanya. Dalam hal itu, yang membuat seseorang kaya raya bukanlah pemberian bautu itu, akan tetapi yang membuat kaya raya adalah hasil kerjamu sendiri.”
Wangsit kesepuluh:
“Geraklah untuk kepentingan sesamamu, bantulah yang sakit untuk mengurangi penderitaannya. Jaga (bahasa Sunda, artinya kelak kemudian hari) kan tercapailah masyarakat kemanusiaan yang menegakkan kemerdekaan dan kebenaran.”
Sejak tanggal 17 September 1927 secara bulat mendirikan aliran kebatinan Perjalanan. Aliran itu dinamakan “Perjalanan”, karena dimaksudkan sebagai ketegasan bahwa baik-buruknya sesuatu maksud atau tujuan baru akan tercapai jika itikadnya dijalankan secara konsekwen. Dalam memberikan ilustrasi mengenai makna perjalanan, AKP (kelompok ini meyebut kelompoknya sebagai aliran kebatinan perjalanan) mengambil contoh air yang mengalir dari sumbernya melalui sungai hingga kelautan. Hakikat sungai itu sendiri adalah realitas bersatunya secara mutlak sekian banyak tetesan air, lalu secara bersama, tidak dapat dipisahkan menuju tujuan akhir, yaitu kelautan.[9]

D.     Ajaran Yang Ditransformasikan
Adapun ajaran yang ditransformasikan oleh Mama Mei Kartawinata adalah sebagai berikut:
1.      Sejarah Diri
2.      Sejarah Bangsa
3.      Sejarah Nagara
4.      Sejarah Dunia
Sedangkan aliran ini dinamakan aliran kebatinan perjalalnan karena sebelumnya Mei Kartawinata pernah melakukan refleksi atau perenungan, yang dalam bahasa sunda disebut ngahening: Sakeclak cai ti gunung mere kahirupan kasakur anu aya di alam dunia ieu, ka balong hirup laukna, ka sawah hirup parena, ka sumur mere kahirupan ker ka sakur jalma (mahluk). Dina perjaalaanan cai, ti pasir lain ngaleutikan kalah ngagedean hayang nepi ka sagarana nya jadi lautan ngagebleg. Renungan mama Mei Kartawinata ini terjadi pada jam 12 siang yang mengakibatkan datangnya wangsit ini. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 17 September 1927 di daerah Cileuleui, Cimerta, Subang.
Oleh aliran kebatinan ini nama daerah ini diterjemahkan sebagai berikut: Cileuleui. Ci artinya kahuripan, leuleui artinya lemah lembut dalam segala pekerjaan. Cimerta. Ci artinya kahuripan, Merta artinya gera petakeun anggota badan anu aya di diri anjeun. Subang. Su artinya hade, Bang artinya Bangsa. Subang dapat dipahami artinya; Bangsa anu hade.[10]
Aliran kebatinan perjalanan itu sendiri diartikan sebagai berikut: Aliran artinya kocoran, tetesan atau titisan. Batin. Artinya anu teu katinggal ku awasna panon. Seperti “menggerakkan anggota badan, disebut budi daya”. Budi anu digerakeun ku badan lemeus (batin), daya anu digerakeun ku barang kasar. Perjalanan. Artinya Perjalanan hirup[11]
Selain daripada itu, menurut Bapak Ugan dalam wawancara mendalam dengan penulis mengartikan bahwa Agama artinya sebagai berikut: Ageuman, Patokan, Ugeran, Cecekeulan, kapercayaan. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa kepercayaan itu kepada yang Maha Suci. Bagi orang Islam Allah, bagi orang Kristen Tuhan, bagi orang hindu Dewa dan bagi orang Budha si Darta.
Struktur organisasi atau kepengurusan aliran kebatinan ini adalah sebagai berikut:
Pimpinan Pusat                                   : Dr. Andri Bernandi
Tingkat Provinsi                                  : Bapak. Ade Taryo
Tingkat Kab. Bandung Selatan            : Bapak Husen
Tingkat Kab. Bandung Barat               : Bapak Kiki Tarqi
Tingkat Kec Ciparay                            : Bapak Ama Samsudin

E.     Kondisi Objektif Tempat Penelitian
            Aliran kebatinan Perjalanan ini berada tidak jauh dari pasar, alun-alun dan juga masjid kaum Ciparai Bandung mungkin kurang lebih 1 km dari depan masjid kaum Ciparai. Tepatnya berada di Kp. Karang Pawitan Rt 01/15, Dusun Cipaku, Desa Paku Tandang, Kec. Ciparai, Kab. Bandung. Nampaknya tempat ini bukanlah tempat asing bagi warga Ciparai, sebab pada saat penulis mengadakan kunjungan[12] ke lokasi ternyata nama aliran ini sudah di kenal oleh masyarakat sekitar, sehingga saat penulis bertanya mereka dengan mudah menunjukkan lokasinya. Namun ketika ditanya lebih lanjut tentang aliran tersebut kebanyakan mereka tidak mengetahuinya secara mendalam.
            Aliran kebatinan ini hidup dan eksis di daerah masyarakat umum dan tidak nampak adanya sekat pemisah antara aliran kebatinan denga masyarakat sekitar, namun penganut aliran ini kebanyakan berkumpul atau ngomplek pada tempat tertentu. Di dalamnya terdapat sebuah bangunan yang cukup besar semacam aula (yang disebut Pasewakan), atapnya mirip seperi bangunan masjid dengan bentuk piramida. Dan di sekelilingnya terdapat rumah-rumah pengikut aliran tersebut. Di dalam bagunan itu diletakkan perlengkapan dan peralatan music seperti; gendang, gong, gamelan dan lain sebagainya. Konon katanya tempat itu selalu dijadikan tempat kegiatan aliran kebatinan dan acara-acara tertentu. Di sebelah banguan utama tersebut terdapat pekarangan yang cukup luas, dan ini suka digunakan dalam acara atau kegiatan yang lebih besar. Bagi masyarakat umum kesannya aliran kebatinan ini cenderung tertutup, namun dalam kegaiatan masyarakat daerah dan program pemerintahan menurut bapak Ugan aliran kebatinan ini selalu terlibat. Aliran ini bagi masyarakat umum menurut bapak Ugan tidak digolongkan sebagai aliran sesat, seperti kebanyakan aliran-aliran yang menyimpang dari suatu agama. Namun mereka memahaminya sebagai sebuah aliran kebatinan. Bapak ugan menegaskan: Aliran ini berbeda dengan definisi aliran kebanyakan orang,  aliran ini dari ibu-bapak sampai karuhun.[13]
            Selain terdapat aliran kebatinan Perjalanan, di komplek tersebut juga terdapat Padepokan (rombongan kesenian) Karang Kamulyan. Padepokan ini bergerak dalam bidang seni, seperti degung, jaipongan, salendroan, dalang (wayang Golek), sempat aktif bersama dalang Asep Sunandar Sunarya. Dan yang menjadi pupuhu dalam padepokan ini adalah Bapak Ugan Rahayu, yang sekaligus menjadi orang yang diwawancarai oleh penulis sebagai  sumber utama dalam penelitian. Bahkan istrinya menurut Bapak Ugan pernah juga menjadi sindennya Asep Sunandar Sunarya. Suami istri ini senatiasa aktif dalam pembinaan seni terutama kepada generasi berikutnya. Menurut Bapak Ugan, antara Padepokan dengan Aliran Kebatinan terpisah.
 
F.     Aktivitas Aliran Kebatina Perjalanan
Aliran kebatinan ini mendapatkan perlindungan hukum dari pemerinta, dimana aliran kebatinan perjalanan ini dibawah pembinaan kemetrian kebudayaan. Sekarang ini menjadi kementrian pendidikan dan kebudayaan. Bentuk perhatian pemerintah terhadap aliran kebatinan ini seperti menyediakan kolom tertentu dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), dengan pemberian no 7 untuk aliran kebatinan. Dengan tanpa mencantumkan identitas agama. Selain itu dalam catatan pertikahanpun, mereka para pengikut aliran kebatinan ini dicatat dalam catatan sipil, tidak dalam KUA, atau yang lainnya. Di samping itu, perhatian pemerintah dalam bentuk yang lainnya seperti memberikan dana atau sumbangan, terutama pada saat adanya kegiatan dimana sebelumnya dibuat proposal permohonan dana.
Semetara itu aktivitas yang terdapat dalam aliran kebatinan perjalanan adalah sebagai berikut:
1.      Rapat bulanan.
Rapat bulanan ini dilaksanakan pada minggu ke- 1, biasanya dalam rapat tersebut dihadiri oleh para anggota pengikut aliran kebatinan yang ada di sekitar. Dan yang dimusyawarahkan tentang berbagai macam hal.


2.      Peringatan Ajaran Mama Mei Kartawinata pada setiap tanggal 17 September
Peringatan ini selalu diadakan bertepatan dengan tanggal 17 september 1927, dimana pada waktu itu Mama Mei Kartawinata menerima Wangsit aliran kebatianan perjalanan.
3.      Tahun baru Saka Indonesia, 1 Syura/Muharram
Kegiatan tahun baru Saka Ini tidak hanya dihadiri oleh anggota atau anak warga Aliran kebatinan setempat, namun juga dihadiri oleh anggota-anggota pengikut ajarana aliran kebatinan perjalanan dari berbagai daerah lain di Indonesia, seperti:
a.      Lampung
b.      Palembang
c.       Kalimantan
d.      Tulung agung, Surabaya
e.      Ponorogo Surabaya
f.        Malang Surabaya
g.      DKI
h.      Bekasi
i.        Semarang, Jawa Tengah
j.        Yogya[14]
4.      Pendidikan
Pendidikan ini dilaksanakan setiap malam Senin dari mulai pukul 17.00-22.00 wib. Yang diikuti oleh 20-30 orang pemuda-pemudi pengikut Aliran Kebatinan Perjalanan. Kegiatan ini dilaksanakan di Pasewakan. Sedangkan isi pendidikan atau pembinaan sebagai berikut:
a.      Ngarajah atau amit syun yang artinga nyuhunkeun widi, alat yang digunakan: kacapi, suling, atau gamelan.
b.      Tema pendididkan: sejarah diri, pancasila, katunggalan
Sejarah diri: asal tina sarupaning opat; Seune, angin, cai, bumi.
Seune (api); Ngajadi daging getih (menjadi daging darah)
Angin: ngajadi kulit buluk (menjadi kulit buluk)
Cai (air): ngajadi sung-sum balung
Bumi (tanah): ngajadi saeusining diri
Dikumplitan ku tujuh (7) pangawasa:
1.      Pangawasa=boga kabudayaan
2.      Pangresa=boga kadaek
3.      Uninga=boga kanyaho
4.      Hirup= boga hurip
5.      Rungu=boga pangdenge
6.      Tinggali=boga awas
7.      Ngandika=boga ucap
Dikumplitan kuparabot anu salapan (9):
1.      Uteuk jeng elingna
2.      Panon jeng awasna
3.      Ceuli jeng pangdenge
4.      Irung jeng angseuna
5.      Biwir jeng ucapna
6.      Ati jeng pikirna
7.      Syaraf jeng rasana
8.      Lengeun jeng obahna
9.      Suku jeng langkahna
Ngawujud tunggal di sebut “kuring jalma hirup”. Yang mengandung arti:
Kuring; asal tinu maha suci
Jelema; asal tina saripatining alam dunia
Hirup; asal langgeng
Depinisi bangsa, bangsa itu terdiri dari: bangsa jelema, sato, sareng anu sanesna.
Masing-masing mempunyai lemahcai, budaya, basa:
Lemah cai; ibu pertiwi
Budaya; adat
Bahasa; bahasa[15]
5.      Kegiatan jumat kliwon:
Kegiatan ini dilakukan pada setiam malam jumat kliwon, dalam kegiatan ini pada umumnya akan menjelaskan :
1.      Menjelaskan atau maparken arti sesaji
2.      kukus atau tempat menyan atau juga wadah;
seune; beureum
areng; hiding
hasep; bodas
semua itu menggambarkan jelema(Manusia).
Adapun isi sesaji adalah sebagai berikut:
1.      Menjelaskan Rujakeun  7 warna
2.      Menjelaskan Kembang 7 warna
3.      Buah-buahan
4.      Bakakak ayam
5.      Air kopi pahit
6.      Air kopi manis
7.      Air teh manis
8.      Air teh pahit
9.      Air putih
Semua sesaji itu disimpan di atas kain putih kemudian dikasih tanda atau disimpan bendera merah putih. Adapun yang menerangkan semua itu terkadang bapak Ugan sendiri. Kegiatan ini dimulai pada jam 19.00 Wib. Sedangkan kegiatan ini diahadiri oleh sejumlah orang pengikut aliran kebatinan Perjalanan dari luar Karang Pawitan.[16]

G.     Pengaruh
Seperti yang sudah disingung sedikit bahwa bagi warga sekitar yang berada di luar aliran kebataian Perjalanan. Mereka mengetahui tentang eksistensi aliran kebatainan tersebut, namun mereka tidak mengetahui secara mendalam tentang aliran kebatinan itu, bahlkan mereka kesannya cenderung apriori. Bagi warga pada umumnya, bahwa aliran tersebut lebih cenderung eklusif (tertutup), namun dalam kegiatan kedaerahan dan pada even tertentu mereka pun terkadang ikut terlibat. Hal ini diakui oleh Bapak Ugan bahwa Aliran kebatinan ini tidak pernah memaksa dan menyebarkan ajarannnya kepada orang lain. Namun kalau ada yang bertanya tentang aliran kebatinan perjalanan, baru pengikut/jamaah aliran kebatinan perjalanan menerangkannya, diantaranya juga Bapak Ugan. Namun harus kita akui bahwa pengaruh ajaran Aliran kebatinan Perjalanan ini sudah memiliki pengikut hampir di setiap derah di Indonesia. Di lokasi aliran kebatinan perjalanan tersebut berada sekarang ini jumlah pengikutnya sudah mencapai kurang lebih 100 orang, sedangkan untuk jumlah se-Kab Bandung kurang lebih 7000 orang. Semetara dari setiap daerah di Indonesia, aliran ini sudah berpengaruh terutama Lampung, Palembang, Kalimantan, Tulung agung, Ponorogo, Malang, Surabaya, DKI, Bekasi, Semarang, Jawa Tengah,Yogya.[17]

H.    Kesan Peneliti ketika di lapangan
            Kebetulan penulis melakukan penelitiannya pada sore hari sampai waktu magrib, sehingga penelitiannya tidak semaksimal seperti yang diharapkan. Keterbatasan tersebut berimplikasi pada hasil penelitian. Namun diwaktu yang amat singkat itu dapat diambil gambaran. Bahwa Aliran kebatinan perjalanan ini eksistensinya terutama di daerah ciparai tidak mengalami peningkatan secara signifikan. Hal ini memungkinkan bahwa aliran kebatinan perjalanan di daerah Ciparai dapat mengalami pergeseran. Kemudaian respon masyarakat di luar aliran kebatinan yang “mungkin” apriori terhadap eksistensi aliran tersebut bisa membawa dampak perubahan terhadap keberadaan aliran Kebatinan tersebut. Mudah-mudahan hasil penelitian ini bermanfaat terutama bagi penulis dan bagi kita pada umumnya.


I.        Penutup/Komentar
Fenomena yang dialami, dirasakan serta yang dilakukan oleh tokoh-tokoh aliran kebatinan atau kepercayaan seperti oleh Mei Kartawinata mirip –(tapi belum tentu sama) dengan apa yang dialami dan dilakukan oleh para filosof. Para filosof melakukan pencarian kebenaran dengan melakukan refleksi, atau perenungan dengan menggunakan akal pikiran secara mendalam (radikal). Dari proses tersebut mereka (para filosof) memperoleh kebenaran sejati atau mendapatkan hikmah dan kebijaksanaan.
Namun yang membedakannya, bagi para filosof kebenaran hasil pemikiran tidak bersifat sakral, sehingga tidak menjadi sebuah ajaran atau dogma yang dianut oleh jamaah (seperti pengikut umat beragama). Sementara bagi aliran kebatinan atau kepercayaan, hasil temuan (wangsit) para tokoh menjadi ajaran yang disakralkan (Disucikan), maka wangsit itu menjadi doktrin atau menjadi idiologi bagi para pengikutnya (jamaah). Dengan demikian tidak heran kalau aliran kebatinan atau kepercayaan bisa tumbuh dan berkembang serta membentuk jamaah atau umat yang banyak.
Disinilah kelebihan para tokoh aliran atau kepercayaan yang memiliki daya pikat yang kuat dibanding dengan para filosof. Karena “sakralitas wangsit” yang ia dapatkan dan kembangkan menjadi pengikat sehingga antara unsur tokoh, wangsit (ajaran) dan jamaah tidak dapat dipisahkan.


[1] M. Amin Abdullah. Pengantar; Metodologi Studi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, cet-1, hlm. 1
[2][2] E.E. Evans Pritchard. Teori-teori tentang agama Primitif, (Yogyakarta: PlP2M, 1984), cet-1, hlm. 64
[3]Amin Abdullah. Pengantar Metodologi, hlm. 2
[4] Karl Marx berpandangan bahwa agama sebagai kebutuhan ekonomi. Freud berpendapat agama sebagai gejala nerousis dan Durkheim berpendapat bahwa agama sebagai kesadaran social.
[5] Daniel L. Pas. Dekontruksi kebenaran; kritik tujuh teori agama. (Yogyakarta: IRCiSoD, 2001), cet-1, hlm. 250
[6] Lihat Frank Whaling. Studi Agama dalam konteks global, Metodologi Studi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, cet-1, hlm. 484
[7]. Kartapraja yang dikutip oleh Dr. Abdul Rozak. Tologi Kebatinan Sunda, (Bandung: Kiblat, 2005), cet-1, hlm. 119
[8] Hasil wawancara penelitian dengan bapak Ugan Rahayu, 30-3-2012 di komplekAliran Kebatinan Perjalanan; Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha EsaKp. Karang Pawitan Rt.01/15, Dusun Cipaku, Ds. Paku Tandang, kec. Cipatay, kab. Bandung
[9] Abdul Rozak. Teologi Kebatina Sunda (Bandung: Kiblat Buku Utama, 2005), cet-1, hlm 119-139
[10]Hasil wawancara penelitian dengan bapak Ugan Rahayu, 30-3-2012 di komplekAliran Kebatinan Perjalanan; Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha EsaKp. Karang Pawitan Rt.01/15, Dusun Cipaku, Ds. Paku Tandang, kec. Cipatay, kab. Bandung
[11]ibid
[12] Penulis melakukan kunjungan atau observasi ke lokasi dan melakukan wawancara mendalam dengan salah satu tokoh yang bernama Bapak Ugan Rahayu pada tanggal 30 Maret 2012.
[13]Hasil wawancara penelitian dengan bapak Ugan Rahayu, 30-3-2012 di komplekAliran Kebatinan Perjalanan; Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha EsaKp. Karang Pawitan Rt.01/15, Dusun Cipaku, Ds. Paku Tandang, kec. Cipatay, kab. Bandung
[14]Hasil wawancara penelitian dengan bapak Ugan Rahayu, 30-3-2012 di komplekAliran Kebatinan Perjalanan;
[15]Hasil wawancara penelitian dengan bapak Ugan Rahayu, 30-3-2012 di komplekAliran Kebatinan Perjalanan;
[16]Hasil wawancara penelitian dengan bapak Ugan Rahayu, 30-3-2012 di komplekAliran Kebatinan Perjalanan;
[17]Ibid