Jumat, 30 Desember 2011

Mercea Eliade

MERCEA ELIADE
1970-1986
oleh, Buhori Muslim, M.Ag

LATAR BELAKANG KEHIDUPAN
Mercea Eliade dilahirkan di Bucharest pada tanggal 9 Maret 1907, ia adalah anak seorang pegawai kemiliteran Rumania. Eliade semasa kecilnya suka menyendiri, menyenangi sains, sejarah dan suka menulis. Dalam usia ke-18 tahun ia merayakan penerbitan artikelnya yang ke seratus. Ia mengisahkan pada suatu hari ketika memasuki sebuah kamar yang sudah tidak digunakan dalam rumahnya tiba-tiba ia dikejutkan oleh cahaya yang berwarna hijau yang masuk dari celah-celah gorden kamar itu. Cahaya tersebut menjadikan kesan ruang kosong yang bercahaya kuning keemasan. Eliade belum pernah menyaksikan dan (merasakan) cahaya seperti itu sebelumnya. Cahaya tersebut sangat menyilaukan dan amat mempesona. Pengalaman itu bagaikan memasuki alam lain, sebuah yang transenden. Kemudian dalam menjelaskan pengalaman keagamaannya ia banyak menggunakan kosa kata berdasarkan pengalaman masa kecilnya ini. Dia menyebutnya dengan “nostalgia yang amat mendalam”, suatu keinginan yang amat mendalam untuk memasuki ruang maha sempurna dan nir-duniawi. Tema-tema tentang “dunia lain” ini juga mempengaruhi jalan pendidikannya.[1]
            Di Universitas Bucharest dan Italia, Eliade mempelajari pikiran-pikiran mistik platonic dari tokoh-tokoh renaisans Italia. Pada saat itu ia bertemu dengan pemikiran Hindu yang menitikberatkan kesatuan spiritual dengan roh Agung (supreme Soul) di luar dunia ini. Dia berangkat ke India untuk melanjutkan studinya, di bawah bimbingan ilmuan Surendranath Dasgupta. Di akhir tahun 1928 Eliade diterima di Universitas Calcutta dan bekerja di Dasgupta. Dan pada saat itu ia pun terlibat skandal (affair) dengan putri pembimbingnya tersebut, sehingga akhirnya ia pun berpisah dengan pembimbingnya dan beralih untuk mempelajari ajaran Yoga pada seorang guru di Himalaya.[2]
            Menurut Eliade bahwa pengalamannya di India telah memberi kesan yang amat mendalam bagi kehidupannya. Ia menemukan tiga hal dalam pengalamannya. Pertama, bahwa jalan hidup bisa berubah disebabkan apa yang dinamakan sacramental, kedua, simbol adalah kunci utama dalam memasuki kehidupan spiritual. Dan ketiga, semua itu hanya bisa digali dan dipelajari di anak benua India, karena di sana terdapat warisan agama rakyat yang sangat kaya dan teramat kuat –sebuah lumbung kehidupan spiritual yang sudah eksis sejak dulu kala.[3]
            Agama purba ini menurut Eliade dapat ditemukan di belahan dunia manapun dari perkampungan di India sampai ke negrinya di Rumania, dari Eropa sampai Asia Timur, juga Amerika dan juga tempat lain di berbagai penjuru dunia. Namun menurut Eliade hanya Di India-lah dapat ditemukan satu perasaan religius tentang kosmos.
            Setelah tiga tahun menetap di India, pada tahun 1931, Eliade kembali ke Rumania untuk melanjutkan tugas militernya. Namun ia tetap melanjutkan bakat menulisnya, dan pada tahun 1933 dalam usia yang sangat muda, 26 tahun ia telah menjadi seorang selebritis dengan terbitnya sebuah novel karangannya yang berjudul Maitreyl, Novel ini diilhami oleh kisah cintanya dengan putri Dasgupta.
            Beberapa peristiwa penting lain juga terjadi dalam dekade ini. Disertasi Doktoralnya dipublikasikan di Prancis pada tahun 1936 dengan judul Yoga: An Essays on the Origins of Indian Myistical Theologi. Setelahnya mendapatkan titel, Eliade mulai mengajar di Universitas Bucharest sebagai asisten seorang filosof berpengaruh bernama Nae Ionesco, yang dikenal sebagai salah seorang tokoh pimpinan organisasi Nasionalis Romania.
Pada masa perang dunia II, Eliade diangkat oleh pemerintahaan Rumania sebagai diplomat yang bertugas di Lisbon, Portugal. Setelah perang usai, dia tidak kembali ke Rumania namun memilih menetap di Paris. Dan mendapatkan kesempatan untuk mengajar di Ecole des Houtes Etudes. Di sana ia berhasil menyelesaikan tulisan dua buah buku penting. Dan dari buku inilah yang menjadi pengantar kepada studi dan pemikiran-pemikiran selanjutnya. Buku itu berjudul  Pattern in comparative Religion (1949), yang menjelaskan fungsi simbol dalam agama. Dan The Myth of Eternal Return (1949), menerangkan konsep historis, sakralitas waktu dan perbedaan antara agama kuno dengan pemikiran modern.[4]
Eliade sangat terinspirasi oleh Carl Jung, ahli psikologi ternama dari Swiss yang juga teman sejawat Sigmund Freud. Ia bertemu Jung di saat ada konfrensi Eranos di Swiss, saat ilmuan-ilmuan Eropa berkumpul dalam kegiatan tersebut. Eliade sering berkunjung sampai Jung wafat pada tahun 1960. Jung sangat mendukung ide-ide Eliade tentang agama-agama kuno dan peninggalan-peninggalan agama tersebut. Eliade berkomentar tentang kesannya bertemu dengan Jung: sewaktu mendengarkan Jung, terasa seperti berhadapan dengan seorang pemikir China atau seorang petani dari pedalaman Eropa, pembicaraannya sangat membumi sekaligus pada saat yang bersamaan menjulang, hingga sangat dekat dengan surga.[5]
Setelah memberikan kuliah-kuliah di Universitas Chicago, ia kemudian menerima gelar profesor dari Divinity School di Universitas yang sama. Pada tahun 1962 ia sudah menjadi professor ternama di Universitas Chicago, dia menghabiskan sisa  hidupnya untuk menjadi seorang penasehat generasi muda yang terpacu oleh semangat dan keteladanannya, walaupun mereka ini sering mengkritisi dan membantah pendapatnya. Pada saat ia datang ke Chicago, hanya terdapat tiga professor Amerika di bidang perbandingan agama. Dua puluh tahun kemudian tumbuh menjadi tiga puluh orang professor, dan setengah dari mereka adalah bekas-bekas muridnya. Di mulai dari india dan berakhir di Chicago, karir dan kehidupan Eliade adalah pertemuan dua kutub; timur dan barat, tradisional dan modern, mistik dan rasionalitas, kontemplasi dan kritik. Pada masa pensiun, ia tetap melakukan riset dan menulis, sampai kemudian wafat akibat stroke pada tanggal 22 April 1986.[6]
DUA AKSIOMA
Pijakan dasar dalam mengembangkan teori-teorinya, Eliade berpaku pada dua ide pokok dalam bentuk aksioma. Pertama, Eliade yang sangat bersebrangan dengan kaum reduksionis. Eliade lebih yakin terhadap keindependenan atau keotonoman agama yang menurutnya tidak bisa diartikan sebagai produks realitas yang lain. Dia menegaskan bahwa phenomena Agama: harus dipahami sebagaimana dia tumbuh dalam tahapan-tahapan dirinya sendiri, dan hal ini akan mungkin dilaksanakan jika agama dipelajari sebagai sesuatu yang religius. Mencoba memahami esensi agama hanya melalui beberapa fenomena, seperti psikologi, sosiologi, ekonomi, bahasa, seni, atau bidang bidang lain, adalah salah besar, karena studi-studi ini melupakan satu hal “Unik” dan bagian yang sama sekali tidak bisa direduksi dalam agama, itulah dimensi sakralitas agama.[7]
Dalam blognya Ifaty Fadliliana Sari dan AB.Widyanta Secara mendasar, teori agama Eliade berupaya menentang terhadap teori-teori reduksionis (semisal Freud, Durkheim, Marx) yang dalam pandangannya betul-betul telah salah memahami peran agama dalam kehidupan manusia. Tesis utama Eliade adalah bahwa agama harus selalu dijelaskan menurut istilah-istilahnya sendiri. Sebagaimana ia pernah ungkapkan: “Tugasku adalah untuk menunjukkan keagungan, terkadang kenaifan, terkadang kedahsyatan, dan ketragisan dari wujud yang purba”[8]
Dalam persefektif inilah yang membedakan Eliade dengan para teoritikus lain seperti: Emile Durkheimp yang menggunakan persefektif sosiologis, Sigmund Freud dengan psikoanalisanya, dan Karl Marx dengan filsafat materialismenya. Mereka ini digolongkan kepada kaum reduksionis. Sementara Eliade termasuk kaum yang anti reduksionis. Karena menurutnya agama harus diposisikan sebagai suatu yang independen, adapun aspek yang lain seperti social, psikologi, ekonomi, harus tergantung kepada agama. Dan fungsi agama mesti dilihat sebagai "sebab” ketimbang “akibat”[9]. Agama digambarkan Eliade sebagai sebuah fenomena sui generis (khas/unik) yang hanya bisa dimengerti dalam termnya sendiri.[10]
Kedua, lebih merujuk kepada metode yang dipakai. Menurut Eliade kita harus menggunakan dua sisi pandang yang terpisah. Karena seseorang dapat mengenal suatu bentuk agama, kepercayaan atau ritualnya adalah dengan jalan membandingkannya dengan agama-agama lain. Kita dapat memahami agama apabila kita telah menerapkan apa yang Eliade sebut pendekatan “Phenomenology”. Yaitu studi komparasi tentang bentuk sesuatu atau penampakan yang dimunculkan sesuatu itu kepada kita. Dan pada hakikatnya bahwa sebagian ilmu adalah fenomenologi. Selin itu Eliade menyatakan bahwa kerja sejarawan agama, sebagaimana ia menggambarkan dirinya, juga untuk “menguraikan makna mendalam dari fenomena keagamaan”. Dia mencoba untuk memahami agama baik dari segi makna maupun sejarahnya.[11]
Metode atau pendekatan yang digunakan oleh Eliade dalam memahami agama yaitu pendekatan sejarah dan pendekatan fenomenologi. Untuk menggali pemikiran atau tori-teori Eliade secara berurutan kita dapat memulai dari buku-bukunya berikut ini.
Pertama, konsep Eliade tentang agama. Ini adalah pokok pikiran utama yang dijelaskan dalam buku The Sacred and the Profanne (1957) barangkali buku ini merupakan pengantar terbaik teori-teorinya yang ditunjukkan kepada pembaca umum.
Kedua, pemahamannya tentang simbol dan Mitos. Hal ini diobservasi dengan sangat baik dalam bukunya yang berjudul, The Pattern In Comvarative Religion (1949). Buku tesebut memuat sebagian besar agenda-agenda yang akan mempengaruhi karya-karya berikutnya, termasuk dalam hal perbandingan agama. Mercea Eliade dan Josep M.  Kitagawa (1974) bahwa tugas ilmu perbandingan agama hanyalah menyusun pernyataan-pernyataan tentang agama yang dapat dipahami, dengan tidak melupakan sedikitnya dua tradisi yang saling berkaitan[12]
Ketiga, penjelasan tentang waktu dan sejarah dalam kebudayaan purba dan modern dibicarakan dalam bukunya  The Myth of the Eternal Return (1949). Buku ini menuru Daniel L Pas merupakan buku orisinil dan paling menantang diantara karya-karyanya yang lain.[13]     
YANG SAKRAL DAN YANG PROFAN
Dalam definisi agamanya, Eliade mengikuti dan mengkombinasikan definisi agama yang dikemukakan oleh Rudolf Otto dan Durkheim. Dari Rudolf Otto, dia melihat agama pada prinsipnya sebagai pengalaman “spiritual (numinous)” atas “yang lain” (the other). Dalam pandangannya Eliade menggambarkan tentang pengalaman manusia yang pernah merasakan sesuatu yang misterius, mengagumkan, dahsyat dan teramat indah, Kemudian terlihat sebagai sesuatu yang luar biasa, substansial, agung dan amat nyata. Itulah pengalaman tentang “yang suci” atau perjumpaan dengan yang sakral. Eliade juga mengadopsi terminologi dan pendekatan Durkheim[14] dalam menghubungkan agama dengan yang sakral, yakni suatu wilayah yang berlawanan dengan kehidupan profane. Ketika Durkhaiem berbicara tentang  yang sakral dan yang profane, dia selalu berpikir dalam konteks masyarakat dan kebutuhannya. Yang skaral menurut Durkhaiem adalah masalah sosial yang berkaitan dengan individu, sedangkan yang profan adalah segala sesuatu yang hanya berkaitan dengan urusan-urusan individu.
Walaupun Eliade menggunakan bahasa yang berasal dari Dukheim dan dia sepakat bahwa istilah yang sakral itu lebih baik dari istilah-istilah yang lain dalam bentuk tuhan personal, tapi pandangannya tentang agamalebih dekat kepada Tylor dan Frazer yang telah lebih dahulu mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap kekuatan supranatural.[15]
Berbeda dengan Durkhaiem, pandangan Eliade tentang yang sakral, fokus perhatian utama agama adalah yang Supranatural, sifatnya mudah dimengerti dan sangat sederhana.[16] Di sini terlihat bahwa konsep Eliade tentang yang sakral sangat terpengaruh oleh konsep Otto. Eliade mengatakan bahwa perjumpaan dengan yang sakral, seorang merasa disentuh oleh sesuatu yang nir-duniawi. Tanda-tanda orang yang mengalaminya, mereka merasa sedang menyentuh satu realitas yang belum pernah dikenal sebelumnya, sebuah dimensi dari eksistensi yang maha kuat, sangat berbeda dan merupakan realitas abadi yang tiada bandingannya.
Eliade menganggap sakral dan profane sebagai “dua model ada (being) yang terdapat di dunia” dan menyatakan bahwa “jurang dalam (abyss)” telah membagi dua modalitas pengalaman tersebut. Oleh karena itu, setiap aktifitas religius dan setiap objek pemujaan pasti berkaitan dengan realitas meta empiris ini, yaitu yang sakral. Eliade menulis; “ketika sebuah pohon menjadi objek pemujaan, maka ia bukan sebagai pohon yang disucikan, namun sebagai hierophany[17], yaitu manifestasi dari yang sakral.[18]
Masyarakat mempunyai sistem-sistem yang sakral. Dan otoritas yang sakral selalu mengatur semua kehidupan. Menurut Eliade dalam membangun perkampungan baru, misalnya Bagi masyarakat Arkais mereka tidak dengan serta merta memilih sembarang tempat. Satu perkampungan haruslah didirikan pada tempat yang memiliki hierophany.  Oleh karena itu masyarakat baru ini berkembang selalu mulai dari titik pusat dunia atau cosmos[19]. maka dia tidak akan terpengaruh oleh keadaan lokasi-lokasi di sekitarnya, apakah itu gurun, hutan, atau dataran luas untuk menjauhkan diri dari chaos. Berdasarkan titik pusat inilah, suatu masyarakat baru dibentuk dengan struktur-struktur ilahiah yang definitif.[20]
Biasanya titik pusat yang sakral dari kosmos ini ditandai dengan berbagai tanda untuk melambangkan titik pusat tersebut. Tanda-tanda tersebut juga bisa berbentuk pohon atau gunung. Alasan kenapa ini sangat disakralkan oleh masyarakat terutama masyarakat Arkais adalah karena tanda-tanda tersebut bukan hanya sebagai pusat perkampungan, melainkan juga berfungsi sebagai axis mundi (pusat dunia). Dia merupakan poros utama, tiang penyangga, tempat kehidupan berputar.
Kaitannya dengan axis mundi ini, kisah tentang “tangga jakob” sangat cocok untuk mendeskripsikan model ini. Dalam Bibel dikisahkan bahwa ketika Jakob Sang Penginjil merasa lelah dalam perjalalanannya. Ia memutuskan untuk beristirahat dan tidur di alam terbuka dengan berbantalkan sebuah batu. Pada malam harinya, dia bermimpi tentang sebuah tangga yang menjulang kelangit (surga) persis dari batu yang ia jadikan bantal. Tangga itu dilalui oleh para malaikat yang turun naik ke surga. Setelah terbangun ia menjadi cemas, sebab ia merasa baru saja bertemu dengan yang sakral. “betapa seramnya tempat ini!”, ujarnya, “tempat ini pastilah rumah Tuhan dan pintu gerbang menuju surga.” Setelah itu ia menyusun batu-batu yang ada di sekitar tempatnya tidur tadi secara vertikal, mengubah susunannya dari bentuk bantal menjadi tangga. Batu itu perlambang dari tangga para malaikat yang dilihatnya dalam mimpi. Bagi Jakob, tempat itu adalah Axis Mundi, sebuah titik dimana seseorang menemukan tangga sakral penghubung langit dan bumi, tempat bertemunya dua hal yang berlawanan: Yang Sakral dan Yang Profan.[21]
Dalam keyakinan Muslim bahwa Ka’bah dan atau Jabal rahmah (gunung/bukit rahmat), merupakan tempat yang memiliki nilai suci dan disucikan (sakral), karena ka’bah menjadi tempat yang selalu dituju (dihadapi) umat Islam pada saat salat dan menjadi tempat Tawaf (mengeliling) bagi yang menjiarahinya. Sedangkan bukit/jabal rahmat diyakini menjadi tempat bertemunya kembali antara Adam dengan Hawa setelahnya mereka  dipisahkan oleh Allah setelah dikeluarkan dari surga.
Dalam tradisi, upacara atau pengalaman yang beragam tersebut, aturan-aturan model keahlian tadi adalah bukti yang tidak bisa dibantah, walaupun berbeda-beda dalam setiap kebudayaan. Eliade lebih lanjut menjelaskan, bahwa perkampungan, kuil atau perumahan masyarakat arkais merupakan sebuah imago mundi, yaitu cerminan dari seluruh dunia, sebagai mana yang di perlihatkan oleh tanda-tanda ilahi tadi.[22]
Masyarakat arkais sangat mementingkan mitos “kosmogonik” –cerita atau legemnda tentang penciptaan dunia, baik penciptaan berdasarkan wahyu tuhan ataupun disebabkan kemapuan tuhan menyelesaikan chaos dan mengalahkan kekuatan jahat. Dalam pandangan Eliade, prilaku-prilaku imitative (peniruan) terhadap perbuatan dewa-dewa ini merupakan hasrat terdalam dari pandangan  hidup masyarakat arkais. Keinginan tersebut bukan mencerminkan yang sakral saja, tetapi lebih adri itu juga bertujuan untuk berada di dalam yang sakral dan dapat hidup bersama para dewa.
Kita dapat menyimpulkan bahwa masyarakat arkais menurut Eliade memiliki rasa “kejatuhan”, sebuah tragedi besar dalam sejarah manusia. Dalam hal ini, Eliade tidak hanya merujuk dosa warisan yang dikisahkan dalam Bibel, ketika Adam dan Hawa melanggar perintah Tuhan dan menerima hukuman dari Tuhan. Bagi masyarakat Arkais memahami “kejatuhan” ini dalam makna atau bentuk lain. Mereka meyakini dan merasa bahwa manusia sudah punya kecemasan terhadap situasi dunia. Mereka telah dicekam rasa ketiadaan, rasa jauh dari tempat yang seharusnya mereka miliki dan yang sangat mereka inginkan –dari dunia yang sakral.[23] Dalam bahasa Eliade, sikap-sikap atau karekter seperti ini adalah “nostalgia untuk kembali ke surga Firdaus, tempat yang akan mendekatkan umat manusia kepada Tuhan.[24]    
Kata Eliade kita dapat menemukan model-model seperti ini diberbagai tempat dan zaman, seperti dalam masyarakat Kristen pertengahan, masyarakat muslim di masa awal perkembangannya, kebudayaan Babilonia kuno, masyarakat jawa modern, masyarakat Indian di Amerika Barat Laut, masyarakat Vedic di India dan masih banyak lagi.[25]
Idenya tentang yang sakral ini lebih luas dari sekedar konsep Tuhan yang personal seperti yang di bayangkan oleh kalangan Yahudi, Kristen atau Muslim. Yang sakral bisa berarti kekuatan-kekuatan dewa-dewi, arwah para leluhur, jiwa-jiwa abadi atau kekuatan dari apa yang disebut penganut Hindu sebagai “Brahman”, roh suci yang mengatasi seluruh alam raya. Lantas bagaimana memahami yang sakral? Itulah yang menjadi tugas agama, yaitu agar bisa menemukan dan merasakan yang sakral serta membawa seseorang keluar dari alam dan situasi  sejarahnya lalu menepatkannya pada suatu kualitas yang berbeda, dunia yang sama sekali lain, yang sangat transenden dan suci.[26]
Bagi kita cerita-cerita mitos seperti ini memang bersifat entertainment, tapi bagi masyarakat Arkais adalah bagian terpenting kehidupan mereka. Mitologi-mitologi itu kemudian membentuk pola pikir mereka, berfungsi sebagai standar nilai terhadap apa yang dikagumi, dan merupakan pola-pola –yang dinamakan Eliade “Archetype” –yang harus dipakai sebelum bertindak.[27]
SIMBOL DAN MITOS
Dalam kehidupan, mungkin sesuatu “yang benar-benar berbeda” dari yang lain bisa dideskripsikan dalam bentuk pengalaman normal? Penyelesaian ini menurut Eliade akan terjawab oleh “pengalaman tidajudulk langsung” (indirect experience) terhadap bahasa-bahasa yang sakral yang dapat ditemukan dalam simbol dan mitos-mitos. Dalam pengalaman keagamaan terdapat hal-hal yang kelihatannya sama dengan yang sakral atau memndakan adanya yang sakral dan memberikan petunjuk mengenai alam supranatural. Mitos-mitos merupakan simbol-simbol berwujud narasi. Mitos bukan hanya sekedar sebuah imajinasi atau pertanda-pertanda, melainkan imajinasi-imajinasi yang di muat kedalam bentuk cerita yang mengisahkan dewa-dewa, leluhur, para kesatria atau dunia supranatural lainnya.[28]
Dalam membahsa mitos dan simbol, Eliade menulis sebuah buku yang berjudul Patterns in Comparative Religion (1949). Buku ini banyak memuat dan menjelaskan secara panjang lebar tentang simbol-simbol dan mitos religious. Menurut Eliade, terlepas dari lokasi dan latar sejarah yang kita teliti, bahwa simbol, mitos dan upacara-upacara ritual keagamaan muncul silih berganti dalam peradaban manusia.[29]
Pada dasarnya simbol itu mengungkapkan struktur seluruh alam raya, sebuah struktur yang tidak Nampak pada tingkat pengalaman selintas.[30] Satu hal yang perlu ditekankan menurut Eliade, bahwa apa saja dalam kehidupan ini yang bersifat biasa-biasa saja adalah bagian dari yang profane. Dia ada hanya untuk dirinya sendiri. Namun dalam waktu-waktu tertentu bahwa yang profan dapat ditaranspormasikan menjadi sesuatu yang sakral. Sebuah benda, seekor binatang, nyala api, sebuah batu, goa sungai atau bahkan seorang manusia bisa menjadi tanda yang sakral asalkan manusia menemukan dan kemudian meyakininya.[31]
Eliade dengan sangat cermat memaparkan bahwa Ka’bah yang disucikan dan diagungkan oleh umat Islam, walaupun di satu sisi Ka’bah sampai saat ini hanyalah seonggok batu, tapi di sisi lain tak seorangpun dari umat Muhammad yang beriman akan beranggapan sesederhana itu, dengan hanya menganggapnya seonggok batu belaka. Semuanya bermula dari satu hierophany yang teramat cepat –yaitu ketika orang Islam menemukan ka’bah itu disentuh oleh yang sakral –maka objek yang profane ini berubah. Dia bukan hanya sekedar batu biasa, tapi sebuah objek suci dan menakjubkan, karena didalamnya terkandung yang sakral.[32]
Hal ini seperti yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 2009 an. Di mana fenomena dukun cilik Ponari dengan batu ajaibnya mampu menyita perhatian banyak orang karena ia dan batunya diyakini dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Tidak sedikit orang menjadi korban-sampai meninggal dunia akibat berdesak-desakan hanya untuk memperoleh keberkahan air hasil celupan batu yang dimiliki oleh dukun cilik Ponari. Bahkan tidak cukup sampai di situ, mereka yang tidak kebagian giliran sampai rela mengambil air comberan (air kotoran dari wc) di sekitar rumah dukun cilik ponari tersebut[33].
Batu-batu seperti ka’bah mampu memperlihatkan kepada orang Islam tentang Tuhan yang tidak berpindah dan tidak berubah, Mahakuasa, sang penguasa dunia. Dalam logika sederhana, kontradiksi-kontradiksi ini kelihatannya memang tidak masuk akal. Menurut Eliade hal itu bisa saja terjadi, sebab dalam beberapa hal, rasio manusia tidak bertanggung jawab atas proses “pertukaran” tersebut. Simbol dan mitos-mitos mewujudkan diri dalam imajinasi-imajinasi, yang biasanya muncul dari ide-ide kontradiksi. Kemudian mengikat seluruh aspek pribadi, emosi, keinginan dan aspek-aspek bawah sadar lain manusia. Sehingga dalam pengalaman religious, hal-hal yang berlawanan itu  (Yang Sakral dan Yang Profan) juga bisa bertemu.[34]
Dalam pandangan Eliade bila simbol-simbol ini dikemas ke dalam bentuk naratif, maka itu dianggap sebagai sebuah mitos. Mitos-mitos menceritakan yang sakral, bagaimana kehidupan ilahiah yang bersifat supranatural itu bisa menjadi sangat dekat dengan kehidupan alamiah manusia.
Dari beragam simbol dan mitos-mitos dalam keberagamaan menurut Eliade yang dapat kita lakukan adalah bagaimana mempelajari pola dan system-sitem umum dari simbol dan mitos-mitos tersebut.[35] Dengan demikian Eliade telah memperlihatkan bahwa ia telah lebih dulu mampu melakukan atau mempelajari pola dan system simbol dan mitos dengan sangat apik dan holistik seperti ia mengangkat tentang simbolisme langit atau dewa-dewa langit, matahari dan bulan, air dan bebatuan, tanah dan kesuburan (tumbuhan dan pertanian), serta memaparkan struktur dan karakter simbol-simbol tersebut.
SEJARAH DAN WAKTU SAKRAL
Eliade menyatakan bahwa penyelidikan para ilmuwan tentang simbolisme yang sakral, catatan sejarah kemanusiaan merupakan kunci utama. catatan sejarah akan memberikan penjelasan kepada kita bagaimana masyarakat yang berbeda menanggapi yang sakral. misalnya  gunung-gunung suci atau sungai gangga di India. bagi masyarakat  primitif kejadian sehari-hari seperti bekerja dan memenuhi kebutuhan hidup adalah sesuatu yang ingin mereka tinggalkan. mereka ingin keluar dari sejarah dan selalu berada dalam alam yang sakral. Eliade mengistilahkan keinginan semacam itu dengan “Nostalgia Surga Firdaus”.
Eliade mengemukakan pemikiran masyarakat arkhais dalam bukunya The myths of the Eternal Return : Or, cosmos and history, dalam bukunya itu dijelaskan bahwa masyarakat kuno mengakhiri sejarah dan ingin kembali pada satu titik nir waktu ketika sesi dunia mulai diciptakan. masyarakat kuno sangat dipengaruhi oleh misteri kematian, dan menyakini kehidupan ini tidak punya tujuan dan arti sehingga menginginkan sesuatu yang penuh arti, kekal indah dan sempurna. petualangan kehidupan manusia akan tetap berakhir dengan kematian.
Ajaran-ajaran kuno India mengatakan bahwa manusia hidup didunia ini ditakdirkan tanpa harapan, mereka melewati lingkaran kerusakan dan kehancuran, hingga pada akhirnya semua itu lenyap dan segalanya dimulai kembali (reinkarnasi).
Ajaran kelahiran kembali pun terdapat dalam kepercayaan kuno lainnya tetapi dalam bentuk yang berbeda. dalam kalangan masyarakat Yunani kuno dan pengikut zoroaster di Persia, ajaran ini diekspresikan dalam kepercayaan bahwa sejarah manusia hanya terdiri dari satu lingkaran (Daur) yang keluar dari keabadian dan pada suatu saat akan diakhiri untuk selama-lamanya oleh api atau bencana lainnya. Masyarakat Persia kuno berbeda mereka menganggap bahwa manusia memperoleh kebebasan dengan pengadilan yang diberikan oleh Ahuramazda dewa cahaya dan kebaikan kepada siapa saja yang tidak beriman kepadaNya.[36]
Berkaitan dengan waktu sakral. Di sini, Eliade secara singkat mengupas materi yang ia banyak cakupkan dalam “The Myth of the Eternal Return”. Seperti pengalaman ruangnya, manusia religius memahami pengalaman waktu sebagai sakral sekaligus profan. Waktu yang sakral, waktu perayaan, adalah kembali pada waktu mistis yang mengawali permulaan segala sesuatu, inilah yang oleh Eliade disebut sebagai “in illo tempore”. Manusia religius mengharapkan untuk selalu hidup dalam waktu yang kokoh ini. Ini adalah kehendak untuk “kembali pada kehadiran dewa-dewa, untuk memulihkan kekuatan, kesegaran dunia sejati yang eksis “in illo tempore”. Menurut Eliade, waktu sakral atau waktu perayaan tidak mungkin didapatkan oleh manusia modern, karena manusia modern melihat waktu profan adalah keseluruhan hidupnya dan ketika ia meninggal hidupnya juga binasa.[37]
Menurut Eliade bahwa kita harus memperhatikan motivasi apa di balik mitos “kembali” return ini. Masyarakat arkais dan juga masyarakat yang lain, tidak hanya dipengaruhi oleh misteri kematian. Mereka ingin sesuatu yang penuh arti, kekal, indah, dan sempurna, sebagai mana mereka juga ingin lari dari ketakutan. Kegetiran dan kesulitan hidup bagi mereka tidak jadi masalah, sebab setiap orang bisa saja ditimpa kesulitan. Tapi ide petualangan manusia secara keseluruhan mungkin adalah sesuatu yang tidak memiliki makana sama sekali, karena akan berakhir dengan kematian. Dan inilah makna yang tidak diharapkan oleh masyarakat arkais.
Perasaan ini menurut Eliade dengan “teror sejarah”, yang menggambarkan manusia sangat berhasrat terhadap mitos-mitos, terutama mitos tentang “kembali kepada keabadian”. Bagi mereka kehidupan ini tidak berarti apa-apa, karena arti kehidupan yang sebenarnya dalam kehidupan tidak akan pernah ditemukan dalam sejarah. Dengan demikian masyarakat Arkais lebih memilih berada “di luar” kehidupan seperti ini.
Terror sejarah ini tidak ahanya dirasakan dan oleh masyarakat arkais saja, tetapi juga oleh masyarakat peradaban kuno yang lain, dimana pandangan yang menganggap waktu sebagai lingkaran sangat dominan. Seperti dalam bentuk-bentuk doktrin kelahiran kembali atau reinkarnasi. Hal ini dapat ditemukan dalam kitab-kitab Upanishad agama Hindu atau ajaran-ajaran Budha Gautama dan Mahavira pendiri Jainisme.
Di tempat lain, ajaran kelahiran kembali ini muncul dalam bentuk yang berbeda. Dikalangan masyarakat Yunani dan pengikut-pengikut nabi Zoroaster di Persia kuno, ajaran ini diekspresikan  dalam kepercayaan bahwa sejarah manusia hanya terdiri dari satu lingkaran (daur) yang keluar dari keabadian dan pada suatu saat akan diakhiri untuk selama-alamanya oleh api atau bencana besar lainnnya.[38]



DAFTAR PUSTAKA


Abdullah Ali.
2007    Agama dalam Ilmu Perbandingan, Bandung, Nuansa Aulia,

Brian Moris.
2003    Antropologi Agama (terjemah), Yogyakarta, AK Group,

Buhori Muslim.
2010    Retorika Dakwah Miftah Faridl (Tesis), Bandung, PPs UIN SGD

Daniel L. Pass.
2001    Dekontruksi kebenaran; kritik tujuh teori agama. (terjemah), Yogyakarta, IRCiSoD, 

http://izzichikoobskuriti.blogspot.com/2011/06/nostalgia-atas-surga.html

http://husnie85.blogspot.com/2011/02/mircea-eliade-riwayat-hidup-mircea.html

http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/membaca-nalar-studi-agama-sakral-dan-profan-karya-mercia-eliade


[1] Daniel L. Pass. Dekontruksi kebenaran; kritik tujuh teori agama. (terjemah), (Yogyakarta: IRCiSoD, 2001) cet-1, hlm. 251
[2] Ibid. hlm, 252
[3] Ibid. hlm, 252
[4] Ibid. hlm, 253
[5] Ibid. hlm, 254
[6] Ibid.
[7] Ibid. hlm, 255
[8] http://izzichikoobskuriti.blogspot.com/2011/06/nostalgia-atas-surga.html
[9] Ibid. 255
[10] Brian Moris. Antropologi Agama (terjemah), (Yogyakarta: AK Group, 2003) cet-1, hlm. 219
[11]Ibid. hlm, 219
[12] Abdullah Ali. Agama dalam Ilmu Perbandingan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2007) cet-1, hlm. 102
[13] Daniel L. Pas. Dekontruksi Kebenaran, hlm. 258
[14] Daniel L. Pas Dekontruksi kebenaranm, hlm.259. Eliade memang dididik dalam lingkungan intelektual Prancis yang sangat dipengaruhi oleh Pemikiran Durkheim, sehingga cara pendefinisian agama yang dilakukan Durkheim diterima luas di Perancis.  
[15] Ibid. hlm. 260
[16] Ibid.
[17] Hierophany berasal dari bahasa Yunani hieros dan Phaineien yang berarti penampakan yang sakral.
[18] Brian Morris. Antropologi Agama, hlm. 220
[19] Cosmos berasal dari bahasa Yunani yang berarti susunan segala hal.
[20] Daniel L. Pas. Dekontruksi Kebenaran, hlm. 264
[21] Ibid. hlm. 265
[22] Ibid. hlm. 266
[23] Ibid.  
[24] Ibid. hlm. 268
[25] Ibid.
[26] Ibid. hlm, 262
[27] Ibid. hlm. 263
[28] Ibid. hlm. 268
[29]  Ibid. hlm. 269
[30] Morris. Antropologi Agama, hlm. 221
[31] L. Pas. hlm. 269
[32] Ibid, hlm. 270
[33] Buhori Muslim. Retorika Dakwah Miftah Faridl (Tesis) (Bandung: PPs UIN SGD, 2010) hlm. 45
[34] L. Pas. Dekontruksi Kebenaran, hlm. 270
[35] Ibid. hlm. 271
[36] http://husnie85.blogspot.com/2011/02/mircea-eliade-riwayat-hidup-mircea.html
[37]http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/membaca-nalar-studi-agama-sakral-dan-profan-karya-mercia-eliade
[38] L. Pas. Dekontruksi Kebenaran, hlm. 287-289

Tidak ada komentar:

Posting Komentar